Seruan dari Balik Layar
Nasywa Azzahra Q.A.
Ditemani
laptop yang masih menyala, seorang gadis yang tampak duduk di bangku belajarnya
yang menghadap sebuah jendela besar mengantukkan kepalanya dengan cukup keras ke
meja. Tangannya bergerak mengacak surai hitam panjang miliknya hingga
berantakan. Sesekali mulutnya mengeluarkan desis umpatan, gadis itu merasa
kesal.
Menyentakkan
kepalanya, gadis berparas rupawan itu dengan kasar membuka jendela di
hadapannya, membiarkan hembus angin bertamu, menerpa wajah ayunya.
“Kenapa
kalian tidak pernah mengerti?!” pekiknya dengan kencang ke arah luar, meski dia
tahu tidak ada yang akan mendengar maupun menjawab dirinya.
Tangan
sang gadis meraih tumpukan kertas lusuh berisi coretan tinta hasil tarian
bolpoin yang membebaskan imajinasi pikirannya. Merobek-robek lembarannya
menjadi potongan acak, membiarkan angin membawanya terbang menembus gelap
malam.
“Makan
tuh literasi! Aaakh, sial, sial!!”
Usai
mengeluarkan unek-uneknya, gadis itu menutup rapat-rapat jendela besar tersebut.
Ia lantas merebahkan tubuh ke atas ranjang empuk miliknya, menenggelamkan wajah
di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan teraliri gerimis dari kelopak
tertutup yang menyembunyikan manik cokelat indah sang gadis.
Keheningan
malam menemaninya, mendekap jiwa juga pikirannya yang merasa lelah, membawa
seutuhnya ke dalam bunga tidur yang melambai kepada dirinya, seolah menyambutnya.
Pukul
10 malam, Lili kembali berkutat dengan laptopnya setelah menyelesaikan seluruh
tugas online miliknya. Bandul cokelat miliknya menatap layar laptop
dengan sorot tajam. Jemari kedua tangannya bergerak dengan lihainya di antara
deretan keyboard, memberikan musik pengiring tambahan. Dengan menyalurkan
pula perasaan pada tulisannya, besar harapan bagi para pembacanya nanti akan
turut merasakannya. Senyum tak henti-hentinya terukir menghias rupa ayu miliknya.
Semakin
larut dalam tulisan, pikirannya semakin dipenuhi kabut imajinasi yang
menari-nari. Memaksa dirinya mengabaikan perasaan lelah yang terasa. Berusaha
keras ia ciptakan sebuah karya sastra yang akan dipersembahkan untuk para generasi
muda bangsa. Begitulah alasan Lili menulis. Ia hendak turut hadir dalam usaha
memperbaiki kualitas literasi bangsa ini.
Usai
menekan tombol “Save Draft”, Lili menyandarkan tubuhnya ke punggung
bangku yang beralaskan bantal berukuran kecil. Manik matanya bergulir mengikuti
deretan huruf yang menyusun rangkaian paragraf yang murni hasil pemikiran dan
kerja kerasnya dengan puas dan bangga. Lili meraih secangkir cokelat panas yang
mulai mendingin di sebelahnya. Diseruputnya likuid kental di dalamnya yang membuat
tubuhnya terasa lebih rileks.
“Bab
ini berhasil kuselesaikan. Aku… hampir berhasil,” gumamnya lirih. Bibir
mungilnya membentuk kurva yang kian melebar, mengeluarkan tawa kecil.
Telinganya
lantas menangkap bunyi getar dari ponsel miliknya yang tergeletak di meja,
membuat fokusnya teralihkan. Lili meraih kacamata untuk ditenggerkan pada
batang hidungnya, sebelum akhirnya meraih ponsel tersebut.
“Ah,
notifikasi tugas baru,” dengusnya. Lili melempar ponsel miliknya ke arah
ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi.
Tak
berselang lama, ia kembali dengan wajah yang lebih segar. Lili berlari kecil
menuju ruang makan, mencomot sebuah roti selai kacang yang disediakan,
memakannya dengan tenang.
“Lili,
selamat pagi!" sapa wanita paruh baya di seberangnya. Wanita itu adalah
ibunya.
Baru
hendak membuka buku, gadis muda itu dikejutkan oleh suara ponselnya yang kembali
bergetar. Lili menekan pop up pesan masuk tersebut. Keningnya mengernyit
membaca pesan yang terpampang di depan matanya.
<Rara>
“P, ada yang punya e-book Kak Asma ga di sini?”
<Aurel>
“Aku ada, yang mau japri yaa!”
Hah? Menyebarkan e-book?
Bodoh sekali, pikir Lili. Jarinya menari di layar ponselnya, mengetikkan
sesuatu dengan cepat.
<Lili>
“Maaf, teman-teman, tapi.. menyebarluaskan e-book? Bukankah termasuk
pembajakan?”
<Rara>
“Yah, mau gimana lagi? Guru kita kasih tugas literasi hari ini.”
<Aurel>
“2-in sih. Lagian, Li, gaada salahnya kan berbagi ilmu?”
<Rara>
“Yups, benerr! Emang apa masalahnya?”
Alis
Lili menukik, geram dengan tingkah kedua kawannya. Memang, selama pandemi ini,
guru di sekolah Lili menggalakkan program literasi secara besar-besaran. Bagi
mereka dengan ekonomi sedang ke bawah yang tidak memiliki buku, dipersilakan
untuk meminjam dari perpustakaan sekolah.
Tetapi,
beberapa dari mereka --bahkan yang berada di tingkat ekonomi atas-- lebih
memilih untuk membaca e-book. Tidak ada yang salah dengan hal itu jika
mereka membeli e-book tersebut, atau setidaknya membacanya dari aplikasi
bebas bayaran yang resmi. Namun kenyataannya, teman-teman Lili justru membaca e-book
yang berasal dari broadcast teman lain. Bahkan, dengan bangga mereka turut
serta menyebarkannya. Padahal jelas-jelas yang mereka lakukan itu salah, sebuah
pembajakan.
Bagi
mereka, mungkin itu hal yang biasa. Setiap kali diberi tahu, dengan keras
kepalanya mereka pasti menjawab, “Lagian kan, gaada bedanya”, juga argumen
lainnya. Tetapi, bagi Lili yang notabenenya seorang penulis, meski masih amatir,
itu suatu hal yang amat penting.
Tak
sadar saja mereka ini secara perlahan-lahan mulai mengambil, bahkan mungkin
menghilangkan pendapatan para penulis buku juga semangat mereka untuk menulis. Lebih
buruknya lagi, mereka tidak mengerti bahwasanya kini, pembajakan online seperti
itu juga telah dikecam sebagai tindak pidana.
Lili
bergidik, tersenyum miris. Benar-benar babil, pikirnya.
<Lili> “Haha, tapi sungguh, kenapa kalian tidak
mengunduh aplikasi e-book resmi saja?”
<Aurel> “Ga ah, Li. Lebih simpel begini. Buat
apa download aplikasi segala, ribet, menuhin penyimpanan juga.”
<Rara>
“Yak, setuju sama Aurel!”
Oh ayolaah, kalian ini siswa,
berpendidikan. Tidakkah kalian merasa malu memperoleh ilmu dari buku hasil
bajakan, hasil curian?
<Lili> “Teman-teman, para penulis itu melakukan
kerja keras untuk menghasilkan satu karya saja. Setidaknya hargai mereka dengan
tidak merampas hak mereka!”
<Rara> “Hak apa sih, Li? Kita sebagai pembaca
juga berperan penting buat mereka, kan?”
Buka matamu, anak muda.
Kau gadis terpelajar, bukan?
<Lili> “Begini, dengan membaca buku bajakan yang
notabenenya tidak resmi, para penulis tidak mendapat upah dan hak mereka. Selain
itu, program literasi ini bisa berjalan karena adanya mereka yang menyediakan
bahan bacaan untuk kita. Sudah seharusnya kita bijak dalam memilihnya, Ra, Rel!”
<Aurel> “Ya udah sih, ga usah marah-marah juga.
Lagi pula, aku dapet itu dari murid kelas sebelah, kok. Aku juga kan niatnya
cuma bantu distribusi ilmu.”
<Rara> “Mungkin Lili lagi PMS, Rel. Jadi
sensitif banget gitu. Udah lah ga usah dibahas lagi! Kalaupun itu bener
pembajakan, kita bukan satu-satunya pelaku.”
<Lili> “Mulai dari kita dulu, Ra. Setidaknya
jika kita berhenti membaca buku bajakan, itu akan mengurangi kerugian para
penulis, ah dan juga, ilmunya lebih berkah! Tapi.. yah, ini terserah kalian sih
:)”
Distribusi ilmu?
Membagikan ilmu? Ah, aku tau, mungkin maksudmu meracuni otakmu dengan ilmu
curian, batin Lili sarkastik.
• • •
Malam
harinya, seperti biasa, Lili bersiap melanjutkan novelnya yang kini hanya tersisa
dua bab sebelum mencapai epilog. Dengan riang, ia tumpahkan segala emosi dan
imajinasinya, mengurainya ke dalam potongan kata yang membentuk deret panjang
kalimat, menyusunnya menjadi satu-dua paragraf. Bibirnya sedikit terbuka,
menggumamkan bait lagu yang berputar-putar di ingatannya.
Lili
melirik kearah ponselnya, berpikir mengambil jeda istirahat sejenak. Lili
memeriksa aplikasi berkirim pesan miliknya, hendak melihat apa yang teman-temannya
bicarakan beberapa waktu lalu. Jarinya mengetuk ruang percakapan.
Sedetik
kemudian, senyumannya luntur. Lili melemparkan ponselnya ke ranjang. Cepat-cepat
dirinya berbalik, menatap layar laptopnya. Jemari lentik Lili sudah bersiap di
atas keyboard, tapi aneh, mereka tidak mau bergerak, terasa kaku. Lili
memejamkan matanya, mencoba mencari keberadaan imajinasi yang biasanya
menari-nari. Kelopak mata Lili terpejam lebih rapat, menelusuri jengkal demi
jengkal pikirannya, mencari jejak mereka.
Nihil.
Mereka seakan menghilang begitu saja. Yang Lili temukan justru ingatan
bagaimana teman-temannya dengan bangga terus menyebarluaskan e-book
bajakan ilegal. Termasuk buku keduanya. Buku yang ia tulis dengan kesungguhan
dan kerja keras.
Detik
itu, Lili merasa tidak dihargai. Sangat.
Lili
membuka kembali matanya, memperlihatkan manik cokelat yang tampak meredup. Semangatnya
memudar. Dadanya terasa sesak. Deru nafas Lili semakin cepat, seolah-olah
kandungan oksigen di sekitarnya menipis. Mata Lili memanas, membuatnya
menggigit bibir merah mudanya kuat-kuat. Tidak ia izinkan awan mendung di pelupuk
matanya menurunkan hujan. Sudut bibirnya yang menurun dipaksanya membentuk
kurva lengkung ke atas. Tetapi sayangnya, pelangi tak akan terbentuk tanpa
hujan.
“Ayo
berpikir, Lili, berpikir!” pekiknya. “Ah, benar! A-aku butuh kertas!” Lili menyambar
selembar kertas kosong dan sebuah pensil.
Tangannya
mulai berhasil menulis beberapa kata—atau mungkin tidak, Lili kembali
mencoretnya. Menulis lagi, mencoretnya lagi. Kini, kertas kosong tersebut dipenuhi
rentetan kata yang tercoret. Genggaman Lili pada pensil semakin mengerat hingga
memperlihatkan buku-bukunya yang memutih.
“Kau
bisa! Ayolah!” Lili menggertakkan giginya. Tangannya kembali menyambar kertas,
lagi, lagi dan lagi. Berkali-kali Lili mencoba, semua lembaran putih itu
berakhir sama, seperti lembar pertama.
Ia
kantukkan kepalanya dengan keras ke meja kayu miliknya. Tangannya bergerak
menjambak surai hitamnya yang indah dengan begitu kasar. Tak lama, Lili
mendongakkan kepalanya, dengan kasar menyibakkan jendela besar di hadapannya. Ia
biarkan semilir angin dan cahaya bulan yang biasa menemaninya bertamu kembali.
“Kenapa
kalian tidak pernah mengerti?!” serunya tertahan.
Lili
meraih tumpukan kertas di sebelahnya, merobeknya menjadi potongan-potongan
abstrak yang kini beterbangan dibawa pergi sang angin malam.
“Makan
tuh literasi! Aaaakh sialaan!!”
Seandainya
bisa, Lili ingin menemui satu per satu kawannya. Memperlihatkan kepada mereka
wajah menyedihkan miliknya. Berteriak pada mereka, menanyakan keberadaan nurani
dan akal mereka.
Mereka
berpendidikan, mereka mampu, mereka mengerti. Lili tahu itu. Mereka hanya
menutup mata dan telinga mereka dari realita. Menembakkan peluru-peluru argumen
yang sama setiap kali ditegur dan diberi masukan.
Literasi
digital memang sebuah program yang ditujukan untuk mencerdaskan, tapi kalau
bukunya hasil bajakan, bukan lagi cerdas namanya. Sebelum mencerdaskan bangsa
dengan literasi, cobalah cerdas dalam memilih literaturnya. Tidak lucu jadinya
apabila nanti para penulis berakhir atau mungkin mengakhiri karir hanya karena pembaca
yang keras kepala.
Lili
menutup kembali jendela kamarnya. Usai mematikan laptopnya, gadis itu melompat ke
ranjangnya, menenggelamkan wajah di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan
teraliri gerimis dari awan di mata indahnya yang kini telah bertambah mendung.
Malam
memeluknya, dengan perlahan menuntunnya menuju bunga tidur yang merentangkan
tangan di hadapannya, bersiap menyambut jiwa letihnya.
Yah,
bagiamanapun, mereka semua sudah terlampau babil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar