Halaman

Senin, 01 Januari 2024

Cerpen: Seruan dari Balik Layar

 

Seruan dari Balik Layar

Nasywa Azzahra Q.A.

Ditemani laptop yang masih menyala, seorang gadis yang tampak duduk di bangku belajarnya yang menghadap sebuah jendela besar mengantukkan kepalanya dengan cukup keras ke meja. Tangannya bergerak mengacak surai hitam panjang miliknya hingga berantakan. Sesekali mulutnya mengeluarkan desis umpatan, gadis itu merasa kesal.

Menyentakkan kepalanya, gadis berparas rupawan itu dengan kasar membuka jendela di hadapannya, membiarkan hembus angin bertamu, menerpa wajah ayunya.

“Kenapa kalian tidak pernah mengerti?!” pekiknya dengan kencang ke arah luar, meski dia tahu tidak ada yang akan mendengar maupun menjawab dirinya.

Tangan sang gadis meraih tumpukan kertas lusuh berisi coretan tinta hasil tarian bolpoin yang membebaskan imajinasi pikirannya. Merobek-robek lembarannya menjadi potongan acak, membiarkan angin membawanya terbang menembus gelap malam.

“Makan tuh literasi! Aaakh, sial, sial!!”

Usai mengeluarkan unek-uneknya, gadis itu menutup rapat-rapat jendela besar tersebut. Ia lantas merebahkan tubuh ke atas ranjang empuk miliknya, menenggelamkan wajah di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan teraliri gerimis dari kelopak tertutup yang menyembunyikan manik cokelat indah sang gadis.

Keheningan malam menemaninya, mendekap jiwa juga pikirannya yang merasa lelah, membawa seutuhnya ke dalam bunga tidur yang melambai kepada dirinya, seolah menyambutnya.

 • • •

 Jarum jam melangkah tertatih, menghapus jarak dengan gelapnya tengah malam. Menyisakan bunyi berdetik yang berbisik mengisi sunyi. Angin malam perlahan menelisik masuk melalui celah terbuka jendela yang seakan menyambut dirinya. Sorot remang cahaya bulan, serta lampu yang masih berpendar dengan setia menemani seorang gadis yang masih terjaga.

Pukul 10 malam, Lili kembali berkutat dengan laptopnya setelah menyelesaikan seluruh tugas online miliknya. Bandul cokelat miliknya menatap layar laptop dengan sorot tajam. Jemari kedua tangannya bergerak dengan lihainya di antara deretan keyboard, memberikan musik pengiring tambahan. Dengan menyalurkan pula perasaan pada tulisannya, besar harapan bagi para pembacanya nanti akan turut merasakannya. Senyum tak henti-hentinya terukir menghias rupa ayu miliknya.

Semakin larut dalam tulisan, pikirannya semakin dipenuhi kabut imajinasi yang menari-nari. Memaksa dirinya mengabaikan perasaan lelah yang terasa. Berusaha keras ia ciptakan sebuah karya sastra yang akan dipersembahkan untuk para generasi muda bangsa. Begitulah alasan Lili menulis. Ia hendak turut hadir dalam usaha memperbaiki kualitas literasi bangsa ini.

Usai menekan tombol “Save Draft”, Lili menyandarkan tubuhnya ke punggung bangku yang beralaskan bantal berukuran kecil. Manik matanya bergulir mengikuti deretan huruf yang menyusun rangkaian paragraf yang murni hasil pemikiran dan kerja kerasnya dengan puas dan bangga. Lili meraih secangkir cokelat panas yang mulai mendingin di sebelahnya. Diseruputnya likuid kental di dalamnya yang membuat tubuhnya terasa lebih rileks.

“Bab ini berhasil kuselesaikan. Aku… hampir berhasil,” gumamnya lirih. Bibir mungilnya membentuk kurva yang kian melebar, mengeluarkan tawa kecil.

 • • •

 “Nghh, selamat pagi, Lili!” Lili mengawali esok harinya dengan menyapa diri sendiri. Berusaha meruntuhkan segunung rasa malas yang ditopang di kedua pundaknya, ia merentangkan kedua tangannya sembari menguap lebar. Lili berbalik menghadap ke arah cermin yang tergantung di dinding kamarnya yang bercat biru laut, membuatnya menatap refleksi dirinya sendiri. Surai hitamnya tampak mencuat berantakan khas orang bangun tidur.

Telinganya lantas menangkap bunyi getar dari ponsel miliknya yang tergeletak di meja, membuat fokusnya teralihkan. Lili meraih kacamata untuk ditenggerkan pada batang hidungnya, sebelum akhirnya meraih ponsel tersebut.

“Ah, notifikasi tugas baru,” dengusnya. Lili melempar ponsel miliknya ke arah ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi.

Tak berselang lama, ia kembali dengan wajah yang lebih segar. Lili berlari kecil menuju ruang makan, mencomot sebuah roti selai kacang yang disediakan, memakannya dengan tenang.

“Lili, selamat pagi!" sapa wanita paruh baya di seberangnya. Wanita itu adalah ibunya.

 • • •

 Seusai menghabiskan sarapan dan melakukan pembicaraan klise sejenak dengan ibu dan ayahnya, Lili lantas kembali ke kamarnya, mengunci pintu, memastikan tidak ada yang akan mengganggu kegiatan belajar daringnya.

Baru hendak membuka buku, gadis muda itu dikejutkan oleh suara ponselnya yang kembali bergetar. Lili menekan pop up pesan masuk tersebut. Keningnya mengernyit membaca pesan yang terpampang di depan matanya.

 

<Rara> “P, ada yang punya e-book Kak Asma ga di sini?”

<Aurel> “Aku ada, yang mau japri yaa!”

Hah? Menyebarkan e-book? Bodoh sekali, pikir Lili. Jarinya menari di layar ponselnya, mengetikkan sesuatu dengan cepat.

 

<Lili> “Maaf, teman-teman, tapi.. menyebarluaskan e-book? Bukankah termasuk pembajakan?”

<Rara> “Yah, mau gimana lagi? Guru kita kasih tugas literasi hari ini.”

<Aurel> “2-in sih. Lagian, Li, gaada salahnya kan berbagi ilmu?”

<Rara> “Yups, benerr! Emang apa masalahnya?”

 

Alis Lili menukik, geram dengan tingkah kedua kawannya. Memang, selama pandemi ini, guru di sekolah Lili menggalakkan program literasi secara besar-besaran. Bagi mereka dengan ekonomi sedang ke bawah yang tidak memiliki buku, dipersilakan untuk meminjam dari perpustakaan sekolah.

Tetapi, beberapa dari mereka --bahkan yang berada di tingkat ekonomi atas-- lebih memilih untuk membaca e-book. Tidak ada yang salah dengan hal itu jika mereka membeli e-book tersebut, atau setidaknya membacanya dari aplikasi bebas bayaran yang resmi. Namun kenyataannya, teman-teman Lili justru membaca e-book yang berasal dari broadcast teman lain. Bahkan, dengan bangga mereka turut serta menyebarkannya. Padahal jelas-jelas yang mereka lakukan itu salah, sebuah pembajakan.

Bagi mereka, mungkin itu hal yang biasa. Setiap kali diberi tahu, dengan keras kepalanya mereka pasti menjawab, “Lagian kan, gaada bedanya”, juga argumen lainnya. Tetapi, bagi Lili yang notabenenya seorang penulis, meski masih amatir, itu suatu hal yang amat penting.

Tak sadar saja mereka ini secara perlahan-lahan mulai mengambil, bahkan mungkin menghilangkan pendapatan para penulis buku juga semangat mereka untuk menulis. Lebih buruknya lagi, mereka tidak mengerti bahwasanya kini, pembajakan online seperti itu juga telah dikecam sebagai tindak pidana.

Lili bergidik, tersenyum miris. Benar-benar babil, pikirnya.

 

<Lili> “Haha, tapi sungguh, kenapa kalian tidak mengunduh aplikasi e-book resmi saja?”

<Aurel> “Ga ah, Li. Lebih simpel begini. Buat apa download aplikasi segala, ribet, menuhin penyimpanan juga.”

<Rara> “Yak, setuju sama Aurel!”

Oh ayolaah, kalian ini siswa, berpendidikan. Tidakkah kalian merasa malu memperoleh ilmu dari buku hasil bajakan, hasil curian?

 

<Lili> “Teman-teman, para penulis itu melakukan kerja keras untuk menghasilkan satu karya saja. Setidaknya hargai mereka dengan tidak merampas hak mereka!”

<Rara> “Hak apa sih, Li? Kita sebagai pembaca juga berperan penting buat mereka, kan?”

Buka matamu, anak muda. Kau gadis terpelajar, bukan?

 

<Lili> “Begini, dengan membaca buku bajakan yang notabenenya tidak resmi, para penulis tidak mendapat upah dan hak mereka. Selain itu, program literasi ini bisa berjalan karena adanya mereka yang menyediakan bahan bacaan untuk kita. Sudah seharusnya kita bijak dalam memilihnya, Ra, Rel!”

<Aurel> “Ya udah sih, ga usah marah-marah juga. Lagi pula, aku dapet itu dari murid kelas sebelah, kok. Aku juga kan niatnya cuma bantu distribusi ilmu.”

<Rara> “Mungkin Lili lagi PMS, Rel. Jadi sensitif banget gitu. Udah lah ga usah dibahas lagi! Kalaupun itu bener pembajakan, kita bukan satu-satunya pelaku.”

<Lili> “Mulai dari kita dulu, Ra. Setidaknya jika kita berhenti membaca buku bajakan, itu akan mengurangi kerugian para penulis, ah dan juga, ilmunya lebih berkah! Tapi.. yah, ini terserah kalian sih :)”

Distribusi ilmu? Membagikan ilmu? Ah, aku tau, mungkin maksudmu meracuni otakmu dengan ilmu curian, batin Lili sarkastik.

 Setelah menekan tombol kirim, Lili mematikan notifikasi grup tersebut, lantas menyambar headphone miliknya untuk dihubungkan dengan ponselnya. Dipilihnya satu lagu kesukaan untuk kemudian dinikmatinya sembari mengerjakan tugas.

 

• • •

 

Malam harinya, seperti biasa, Lili bersiap melanjutkan novelnya yang kini hanya tersisa dua bab sebelum mencapai epilog. Dengan riang, ia tumpahkan segala emosi dan imajinasinya, mengurainya ke dalam potongan kata yang membentuk deret panjang kalimat, menyusunnya menjadi satu-dua paragraf. Bibirnya sedikit terbuka, menggumamkan bait lagu yang berputar-putar di ingatannya.

Lili melirik kearah ponselnya, berpikir mengambil jeda istirahat sejenak. Lili memeriksa aplikasi berkirim pesan miliknya, hendak melihat apa yang teman-temannya bicarakan beberapa waktu lalu. Jarinya mengetuk ruang percakapan.

Sedetik kemudian, senyumannya luntur. Lili melemparkan ponselnya ke ranjang. Cepat-cepat dirinya berbalik, menatap layar laptopnya. Jemari lentik Lili sudah bersiap di atas keyboard, tapi aneh, mereka tidak mau bergerak, terasa kaku. Lili memejamkan matanya, mencoba mencari keberadaan imajinasi yang biasanya menari-nari. Kelopak mata Lili terpejam lebih rapat, menelusuri jengkal demi jengkal pikirannya, mencari jejak mereka.

Nihil. Mereka seakan menghilang begitu saja. Yang Lili temukan justru ingatan bagaimana teman-temannya dengan bangga terus menyebarluaskan e-book bajakan ilegal. Termasuk buku keduanya. Buku yang ia tulis dengan kesungguhan dan kerja keras.

Detik itu, Lili merasa tidak dihargai. Sangat.

Lili membuka kembali matanya, memperlihatkan manik cokelat yang tampak meredup. Semangatnya memudar. Dadanya terasa sesak. Deru nafas Lili semakin cepat, seolah-olah kandungan oksigen di sekitarnya menipis. Mata Lili memanas, membuatnya menggigit bibir merah mudanya kuat-kuat. Tidak ia izinkan awan mendung di pelupuk matanya menurunkan hujan. Sudut bibirnya yang menurun dipaksanya membentuk kurva lengkung ke atas. Tetapi sayangnya, pelangi tak akan terbentuk tanpa hujan.

“Ayo berpikir, Lili, berpikir!” pekiknya. “Ah, benar! A-aku butuh kertas!” Lili menyambar selembar kertas kosong dan sebuah pensil.

Tangannya mulai berhasil menulis beberapa kata—atau mungkin tidak, Lili kembali mencoretnya. Menulis lagi, mencoretnya lagi. Kini, kertas kosong tersebut dipenuhi rentetan kata yang tercoret. Genggaman Lili pada pensil semakin mengerat hingga memperlihatkan buku-bukunya yang memutih.

“Kau bisa! Ayolah!” Lili menggertakkan giginya. Tangannya kembali menyambar kertas, lagi, lagi dan lagi. Berkali-kali Lili mencoba, semua lembaran putih itu berakhir sama, seperti lembar pertama.

Ia kantukkan kepalanya dengan keras ke meja kayu miliknya. Tangannya bergerak menjambak surai hitamnya yang indah dengan begitu kasar. Tak lama, Lili mendongakkan kepalanya, dengan kasar menyibakkan jendela besar di hadapannya. Ia biarkan semilir angin dan cahaya bulan yang biasa menemaninya bertamu kembali.

“Kenapa kalian tidak pernah mengerti?!” serunya tertahan.

Lili meraih tumpukan kertas di sebelahnya, merobeknya menjadi potongan-potongan abstrak yang kini beterbangan dibawa pergi sang angin malam.

“Makan tuh literasi! Aaaakh sialaan!!”

Seandainya bisa, Lili ingin menemui satu per satu kawannya. Memperlihatkan kepada mereka wajah menyedihkan miliknya. Berteriak pada mereka, menanyakan keberadaan nurani dan akal mereka.

Mereka berpendidikan, mereka mampu, mereka mengerti. Lili tahu itu. Mereka hanya menutup mata dan telinga mereka dari realita. Menembakkan peluru-peluru argumen yang sama setiap kali ditegur dan diberi masukan.

Literasi digital memang sebuah program yang ditujukan untuk mencerdaskan, tapi kalau bukunya hasil bajakan, bukan lagi cerdas namanya. Sebelum mencerdaskan bangsa dengan literasi, cobalah cerdas dalam memilih literaturnya. Tidak lucu jadinya apabila nanti para penulis berakhir atau mungkin mengakhiri karir hanya karena pembaca yang keras kepala.

Lili menutup kembali jendela kamarnya. Usai mematikan laptopnya, gadis itu melompat ke ranjangnya, menenggelamkan wajah di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan teraliri gerimis dari awan di mata indahnya yang kini telah bertambah mendung.

Malam memeluknya, dengan perlahan menuntunnya menuju bunga tidur yang merentangkan tangan di hadapannya, bersiap menyambut jiwa letihnya.

Yah, bagiamanapun, mereka semua sudah terlampau babil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar