Kenangan pada Sebuah Pertandingan
Faishal Ahmad Al Azhar
Lapangan yang tak adil,
kata Aswin. Bek kanan yang tangguh, tapi mudah terpancing emosi. Ia tidak
membenarkan, tak juga menyangkal. Pemain lawan juga sering mengeluh jika
bertanding di lapangan sepak bola kampungnya itu. Kesebelasan yang mendapat
giliran menempati sisi lapangan yang landai mesti berjuang lebih keras. Bola
bakal bergulir lebih liar dan lawan menyerbu seperti air bah. Setiap kali bola
datang, Aswadi kiper timnya, terpontang-panting mengamankan gawang. Sebaliknya,
alangkah sulitnya menggiring si kulit bundar ke gawang sebelah.
Usianya kala itu baru
belasan tahun. Mereka patungan menyablon kaus. Biru cerah seperti kostum Les
Bleus, tim nasional Prancis. Ia kebagian nomor punggung tujuh.
Gelandang kiri. Sebetulnya ia lebih suka bermain sebagai penyerang dan selalu
yakin ia pemain haus gol. Serangan-serangannya tajam, menusuk langsung ke
jantung pertahanan lawan. Namun, Bang Amran berkeras ia harus main di sayap.
“Tendanganmu kurang
akurat, tapi umpan-umpanmu bagus!” kata kakak iparnya yang menjadi pelatih
kesebelasan kampungnya itu. Tak ada gunanya berbantah. Toh, ia melakukan
tugas-tugasnya dengan baik. Bola mengalir deras dari kakinya. Umpan demi umpan
dengan gemilang disorongkannya. Ferdiansyah dan Fuad selalu mampu memanfaatkan
umpan-umpannya dengan cukup baik.
Berkali-kali mereka
menjuarai turnamen 17 Agustusan dan berhasil merebut Camat Cup dua tahun
berturut-turut. Bahkan sekali menjadi runner-up Piala Bupati.
Namun, justru di kejuaraan memperebutkan trofi Kepala Desa mereka sendiri, di
kandang sendiri, kesebelasannya mesti tersingkir di babak penyisihan! Ya, tidak
mungkin ia melupakan pertandingan itu kendati telah lewat bertahun-tahun.
Berdesakan, nyaris
tergencet, di antara ribuan calon penonton yang berteriak-teriak marah,
bayangan masa silam itu merambat dalam kepalanya, seperti tayangan ulang di
layar televisi. Digenggamnya erat-erat tangan Riko, anaknya yang baru 10 tahun,
agar tidak ikut terseret arus massa yang kian kehilangan kesabaran. Tak ada
lagi antrean. Terjadi dorong-mendorong, saling sikut.
“Holid turuun! Holid
turuuunn…!” suara kemarahan itu membahana di langit siang yang terik. Ia
mencoba membawa Riko menepi. Namun itu pun bukan hal mudah. Oh, betapa wajah-wajah
lelah yang tampak beringas di sekelilingnya saat ini serta-merta
mengenangkannya pada orang-orang kampungnya sendiri, yang tiba-tiba saja jadi
pemberang tatkala berdiri di pinggir lapangan sebagai suporter sore itu.
Sampai sekarang, ia selalu
berpikir hari itu terlampau awal mereka datang ke lapangan. Para penonton juga
bertandang terlalu dini. Pertandingan akan dilangsungkan pukul empat sore, tapi
jam dua warga kampungnya yang menjadi suporter telah tumpah ruah di pinggir
lapangan. Begitu bisingnya. Para pemuda berteriak-teriak dan berseloroh ribut.
Kaum ibu dan anak-anak tidak kalah gaduhnya. Tak perlu tiket, tapi bandar judi
berkeliaran, kupon-kupon putih diam-diam diedarkan dari tangan ke tangan.
Tukang bakso, penjual kacang goreng, tukang es, gerobak nasi goreng, dan
penjaja mainan anak-anak ikut meramaikan suasana di luar lapangan.
“Kami sudah kehabisan
dana!” teriak Pak Burdin, ketua panitia penyelenggara, seperti kebakaran
jenggot ketika warga memprotes minimnya fasilitas di lapangan. Mikrofon soak
dengan suara cempleng, papan skor yang seadanya, dan lapangan jelas tak
dibenahi dengan semestinya. Warga hanya bisa bersungut-sungut.
Betapa suasana menjelang
pertandingan yang panas itu seolah masih dapat ia rasakan. Telinga mereka
sampai terasa pekak oleh suara teriakan. Maklum, kendati merupakan laga pertama
kesebelasannya dalam turnamen, lawan yang akan dihadapi hari itu adalah kampung
tetangga yang menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun.
Toh, tak ada alasan
menyalahkan lapangan jelek atas kekalahan. Ia tahu itu, semua teman-temannya
tahu. Apalagi bermain di kandang sendiri, di hadapan orang-orang kampung yang
tiba-tiba menganggap sepak bola sebagai bagian dari pertaruhan harga diri
mereka.
Di lapangan buruk itu, tim
yang lebih dulu menempati gawang berumput lebat tentu tak menyia-nyiakan
kesempatan mencetak angka sebanyak mungkin. Dan biasanya memang hampir selalu
keluar sebagai pemenang. Maka ketika wasit melemparkan koin Rp100, ia pun
berdoa dengan sungguh-sungguh agar Pudin tak salah memilih gambar gunungan
wayang. Doa itu terkabul. Mereka bersorak kegirangan saat melihat sisi koin
yang terbuka di telapak tangan wasit, seakan-akan sebuah gol baru saja
tercipta. Wajar saja jika suara cemooh dari suporter lawan pun terdengar begitu
Aswadi berdiri di muka gawang pilihan. Suasana menegang karena para pemuda
kampung mereka membalas cemooh itu dengan garang. Tampak nyata rasa cemas di
wajah orang-orang yang menjadi petugas keamanan. Apalagi lapangan itu hanya
dipagari tiga utas tali tambang.
Tapi kedudukan tetap saja
berubah jadi 2-3. Jeritan pendukung lawan bergemuruh keras. Ia terhenyak.
Panasnya pertandingan itu membuat tubuh mereka seperti meleleh, tak juga mampu
disejukkan oleh gerimis yang mulai menetes satu-satu lantas membesar. Hingga memasuki
menit ke 74, satu gol kembali menjebol gawang Aswadi. Kali ini dari titik
penalti! Membuat kedudukan jadi imbang 3-3. Kebahagiaan suporter lawan meledak.
Menyusul saling ejek dan lempar-lemparan yang tak terhindarkan. Botol minuman,
potongan kayu, dan batu mulai melayang.
Lalu, bencana itu datang!
Ia berdiri di sana, ia ingat, di pojok kiri gawangnya sendiri. Semua pemain
turun membantu pertahanan. Bahkan Ferdi tak pernah lagi naik melewati garis
tengah lapangan sejak gol penalti lawan tercipta. Ooh, bagaimana mungkin bisa
ia lupakan serangan yang datang begitu bertubi-tubi itu, membuat mereka nyaris
kocar-kacir.
Ya, seolah-olah baru
kemarin peristiwa itu berlangsung. Jelas sekali dalam ingatannya: bola itu
datang dari depan, menggelinding lurus ke tengah gawang. Aswadi tersungkur di
luar kotak penalti setelah berjumpalitan menahan dua tembakan beruntun Salim.
Aswin berusaha menyapu bola namun luput. Hanya dirinya, satu-satunya orang yang
bisa menghentikan laju bola itu, menyelamatkan gawang mereka dari kebobolan.
Tetapi entah sudah takdir,
atau semata-mata kesialan. Ah, malapetaka itu seperti diputar ulang dalam
benaknya: Kakinya terpeleset oleh licinnya mulut gawang. Ia kehilangan
keseimbangan tepat di saat ujung sepatu kanannya menyentuh bola! Demikianlah.
Berlawanan dengan kehendaknya menendang bola jauh-jauh ke luar lapangan, si
kulit bundar justru terpelanting keras ke sudut kanan gawang. Tanpa ampun
langsung merobek jaring!
Keributan pecah di luar
lapangan. Sorak-sorai suporter lawan seketika teredam oleh teriakan-teriakan
marah. Sebagian penonton bubar berhamburan. Polisi dan petugas keamanan sama
sekali tak berdaya ketika dengan beringas para pemuda kampungnya merangsek ke
arah suporter lawan. Sebagian menyerbu masuk ke dalam lapangan. Belum juga sempat
ia beranjak bangkit, ia merasa bagian belakang kepalanya dihantam benda keras.
Bagaimana mungkin ia
melupakan pertandingan itu? Kepalanya yang mendapatkan pukulan batang kayu
harus menerima lima jahitan dan diperban lebih dari seminggu. Tak pernah diketahui
siapa pemukulnya, bahkan malam harinya rumahnya sempat dilempari orang tak
dikenal. Itulah terakhir kalinya ia bermain bola. Karena dua minggu berselang,
hanya tiga hari setelah ia menerima ijazah kelulusan SMA-nya, ayahnya
memanggilnya selepas magrib.
“Paman Hanif
menanyakanmu,” kata ayahnya ketika itu, sambil menatapnya cemas. “Ada salam
dari bibimu,” ibunya menambahkan. Perempuan itu memperhatikan perban di
kepalanya dengan sedih. Ia ingat, bagaimana ia hanya bisa tertunduk di sisi
meja ruang tengah.
“Kau mau kuliah?” tanya
sang ayah kemudian. Ia cuma mengangguk kecil. Sejak itu, kakinya tak pernah
lagi menyentuh bola. Tak pernah sekalipun ia datang ke lapangan atau stadion.
Kalau bukan karena Riko
merengek terus-menerus sehingga membuat istrinya sewot, takkan pernah ia
menginjakkan kaki di stadion ini, pikirnya getir. Meskipun ia tahu, anak semata
wayangnya sangatlah menyukai sepak bola. Suasana di depan stadion besar itu
semakin tegang, semakin panas. Langit siang seakan ikut memerah.