Rumah Tanpa Atap
Sheravina Nadanti
Hari ini pagi pagi
sekali, ibu membawa kakak pertamaku Caca dan adik terakhirku bernama Putri
pergi. Kata ibu, mereka berdua akan diantar ke tempat ayah yang sedang bekerja
jauh di kota sana.
Aku dan kak Feby hanya bisa berdiri di ambang pintu. Mengamati
punggung ibu, kak Caca dan putri, yang tampak mengecil sering jauhnya jarak
mereka. Lalu tak terlihat lagi saat mulai menampakan kaki di jaln setapak
menurun.
Hening menyergap suasanan sepeninggal tiga wanita itu.
Aku dan kak Feby sama – sama bergeming , entah apa yang ada dipikirkan masing –
masing. Yang jelas pikiranku saat ini terpaut pada dua saudara perempuanku yang
telah pergi.
Aku lantas menoleh sembari berdehem “ Hmm ?” “Ke sungai
yuk, macing ikan. Mumpung ibu nggak ada,” tawar kak Feby, tawaran yang bagus
kak Feby! Langsung kuanggukan kepala tanda setuju. Sesampainya disungai aku dan
kak Feby langsung memancing ikan dengan umpan cacing tanah. Tak hanya kami
berdua, ada juga beberapa anak lain yang sedang memancing. Keberuntungan
memihak pada kami berdua. Tiga ekor ikan berukuran sedang berhasil aku dan kak
Feby dapatkan, meskipun cukup lama menunggu.
Umpan sudah habis , matahari pun semakin terik dan sudah
tampak di atas kepala. Kami kemasi semua alat memancing ikan tadi. Bergegas
menjauh dari tepi sungai. “ Bayu!Feby!” panggil beberapa orang teman, yang juga
sudah mengakhiri kegiatan memancing mereka. Aku dan kak Feby menoleh walaupun
hanya diam.
“Mandi sungai, yuk!”. Ya ampun, aku jadi tergoda setelah
mereka semua masuk kedalam air sungai yang jernih. Mau, tetapi ibu sering marah
tiap kali kami pulang dari sungai dalam keadaan basah kuyub.
“ Kak Feby, boleh ya?” ijinku pada kak Feby.
“ Jangan ah, nanti dipukul ibu!” kak Feby melarang.
“ Tapi kan ibu sedang pergi, pastinya pulangnya lama”
jawabku. Kak Feby diam cukup lama, nampaknya mempertimbangkan. “Ayolah”
terdengar jawaban yang ku inginkan dari kak Feby. Melangkah lagi kami ke tepi
sungai , meletakan alat mancing disana. Lalu setelah melepas kaos yang kami
kenakan, kami langsung terjun ke dalam air.
Byurr! Huwaaa! Segar sekali rasanya mandi disungai ketika
siang bolong begini.
Kami berenang cukup lama. Hingga lupa waktu dan tak
terasa hari akan menjelang petang setelah adzan asar berkumandang. Buru – buru
aku dan kak Feby menepi ke tepi sungai. Dengan gerakan cepat memakai kembali
kaos yang tadi ditinggalkan dan mengambil alat memancing , setelah berlari meninggalkan tepi sungai, menuju rumah.
Langkah lebarku untuk mencapai rumah sontak berhenti. Menyusul kak Feby dengan
langkah kecil hingga kami berdua berdiri sejajar diradius beberapa meter dari
pintu rumah, yang sudah terbuka lebar. Pintu terbuka lebar? Setahuku , kak Feby
sudah menutupnya bahkan menguncinya sebelum kami berangkat ke sungai untuk
memancing. Rasa takut perlahan menguasai hatiku. Terbayang wajah marah ibu, dan
tatapan garangnya dengan sebilah rotan digenggamanya. “ Kak Feby” aku memanggil
pelan seraya menarik – narik ujung kaos yang dikenakanya. Kak Feby tak
menjawab, bahkan tak menoleh padaku. Kedua alis tebalnya justru bertautan,
tanda cemas. Tahu betul kami, akan mendapat pecut dari ibu ketika masuk rumah
dalam keadaan pakaian basah. Kami mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu dipukuli
ibu.
“ Nggak apa apa. Ayo masuk, nanti masuk angin” kak Feby
menggengam pergelangan tanganku. Setengah menarik agar aku hendak bergerak,
pasalnya kaki ini mendadak kaku. Kak Feby berjalan lebih dulu, semetara aku
menyusul selangkah dibelakangnya. Kak Feby mengucapkan salam saat memasuki
rumah namun, tak ada jawaban dari dalam. Malah isak tangis lirih yang terdengar
saling bersahut – sahutan.
Suara itu aku mengenalnya. Kak Caca dan adikku Putri. “
Sudah ibu bilang, jangan ikut ibu pulang! Tinggal saja dengan ayahmu!” suara
ibu lantang meneriaki dua gadis yang tengah meringkuk sembari menangis
dihadapannya. Kak Caca dapat pukulan pertama, mendarat dilengan kanannya. Cukup
kuat ibu memukul, hingga keluarlah rintihan kesakitan dari bibir kak Caca.
Pukulan kedua diarahkan ke bahu Putri.
Tangisku pecah melihat dua saudaraku dalam keadaan
tersiksa. “Ibu jangan!” kak Feby berlari tiba – tiba , menghampiri Putri dan
kak Caca kemudian memeluk dari depan, hingga pukulan ibu yang kesekian kalinya
mendarat keras di punggung kak Feby. “ Ibu.... su-sudah” aku meminta penuh
tangis. Hatiku serasa diiris melihat Putri dan kak Caca yang menangis
sesengukan. Bahu keduannya sampai berguncang pelan.
“ Oh, kau juga mau dipukul? Ayo sini! Kalian semua anak –
anak yang merepotkan, sama seeprti ayah kalian!” ibu menarik lenganku cukup
kuat, hingga tubuh mungil ini terseret dan bergabung dengan ke tiga saudaraku.
Kak Caca, kak Feby, dan Putri.
Bergiliran ibu memukulkan ranting kayu yang keras itu ke
kulit kami. Kadang dibahu, lengan, betis, dan punggung. Ibu tak terkendali,
semakin keras suara rintihan kami, semakin keras pula ibu memukul. Rasanya
sakit sekali dan rasa perih terasa di setiap bagian tubuh. Bagaimana mungkin
kami bisa berhenti menangis.
Malam hampir larut. Kami berempat masih terjaga,
berbaring diatas balai bambu beralaskan tikar, yang menjadi tempat kami tidur. Kak Caca bercerita tetntang
kejadian siang hari tadi, penyebab ia dan Putri tak jadi tinggal bersama ayah
di kota.
Ternyata ayah marah besar ketika ibu datang membawa kak
Caca dan Putri ke tempat ia bekerja, dan meminta agar ayah gantian merawat
mereka. Kata kak Caca, ayah tinggal disebuah perumahan yang disediakan khusus
untuk para pekerja.
“Tempatnya bagus, nyaman, dan bersih. Beda jauhlah dengan
rumah kita,” tutur kak Caca sambil menepuk nepuk punggung Putri pelan, hingga
ia tertidur.
Ayah bertengkar hebat dengan ibu. Lalu ibu menyuruh kak
Caca dan Putri untuk jangan ikut ibu pulang dan tinggal bersama ayah. Namun,
ayah malah memaksa kak Caca dan Putri agar ikut ibu pulang. Awalnya kak Caca
dan Putri tidak mau. Namun , ayah malah mendorong dan mengusir.
Dua hari berlalu, ayah pulang ke rumah. Namun, malah
bertengkar hebat dengan ibu. Kami ketakutan mendengar kekacauan diluar kamar
hanya bisa saling memeluk menguatakan satu sama lain.
“Aku menyesal sudah menikah denganmu mas!” Terakhir itu
yang ku dengar terucap dari bibir ibukku. Lalu keributan tadi terhenti dan
susanan menjadi hening. Saat aku mengintip ke luar dari tirai pintu kamar,
terlihat ibu berjalan bergegas keluar rumah dengan tas besar ditangan. Ibu
pergi, tetapi tak pamit dan tak tahu akan pergi ke mana dan kapan akan
kembali?.
Sore hari, ayah berpamitan kepada kami. Ia kembali ke
kota, memberikan sejumlah uang kepada kak Caca dan berpesan agar kak Caca
merawat kami dengan baik. Kak Caca anak yang baik, ia menuruti pesan ayah.
Meskipun malam harinya ia menagis bersama Putri ketika hendak tidur.
Berhari – hari, berminggu – minggu sampai berbulan –
bulan. Ibu tak kunjung pulang, padahal kami senantiasa menunggu. Rindu, itulah
yang kami rasakan. Sementara ayah tak ada bedanya dengan ibu. Ia hanya menitipkan
uang makan sehari – hari untuk kami kepada paman.
Kami merasa tak aman tinggal dirumah sendiri. Merasa tak
terlindungi dari badai. Seperti, rumah tanpa atap. Ada dinding dan tiang namun,
tak ada atap yang bisa melindungi penghuni di dalamnya dari hujan dan panas.
Atap pelindung itu adalah ayah dan ibu. Jika mereka ada, entah kenapa kami anak
– anaknya akan merasa aman.
Empat bulan kemudian, ibu masih belum pulang. Namun,
kabar beritannya disampaikan paman kepada kami. Ke empat anak yang ditinggalkannya.
Ibu menikah lagi, kata paman. Dengan seorang pria, yang entah bagaimana
rupanya, dan entah bagimana bisa menggantikan ayah.
Sejak kabar ibu menikah lagi tersiar mungkin hingga ke
penjuru desa. Ayah tak lagi mengirim uang untuk biaya makan kami sehari – hari
, atau sekedar datang menjenguk kami, anak – ankanya.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar