Halaman

Kamis, 07 Mei 2020

Cerpen: Rumah Tanpa Atap


Rumah Tanpa Atap

  Sheravina Nadanti   

Hari ini pagi pagi sekali, ibu membawa kakak pertamaku Caca dan adik terakhirku bernama Putri pergi. Kata ibu, mereka berdua akan diantar ke tempat ayah yang sedang bekerja jauh di kota sana.
Aku dan kak Feby hanya bisa berdiri di ambang pintu. Mengamati punggung ibu, kak Caca dan putri, yang tampak mengecil sering jauhnya jarak mereka. Lalu tak terlihat lagi saat mulai menampakan kaki di jaln setapak menurun.
Hening menyergap suasanan sepeninggal tiga wanita itu. Aku dan kak Feby sama – sama bergeming , entah apa yang ada dipikirkan masing – masing. Yang jelas pikiranku saat ini terpaut pada dua saudara perempuanku yang telah pergi.
Aku lantas menoleh sembari berdehem “ Hmm ?” “Ke sungai yuk, macing ikan. Mumpung ibu nggak ada,” tawar kak Feby, tawaran yang bagus kak Feby! Langsung kuanggukan kepala tanda setuju. Sesampainya disungai aku dan kak Feby langsung memancing ikan dengan umpan cacing tanah. Tak hanya kami berdua, ada juga beberapa anak lain yang sedang memancing. Keberuntungan memihak pada kami berdua. Tiga ekor ikan berukuran sedang berhasil aku dan kak Feby dapatkan, meskipun cukup lama menunggu.
Umpan sudah habis , matahari pun semakin terik dan sudah tampak di atas kepala. Kami kemasi semua alat memancing ikan tadi. Bergegas menjauh dari tepi sungai. “ Bayu!Feby!” panggil beberapa orang teman, yang juga sudah mengakhiri kegiatan memancing mereka. Aku dan kak Feby menoleh walaupun hanya diam.
“Mandi sungai, yuk!”. Ya ampun, aku jadi tergoda setelah mereka semua masuk kedalam air sungai yang jernih. Mau, tetapi ibu sering marah tiap kali kami pulang dari sungai dalam keadaan basah kuyub.
“ Kak Feby, boleh ya?” ijinku pada kak Feby.
“ Jangan ah, nanti dipukul ibu!” kak Feby melarang.
“ Tapi kan ibu sedang pergi, pastinya pulangnya lama” jawabku. Kak Feby diam cukup lama, nampaknya mempertimbangkan. “Ayolah” terdengar jawaban yang ku inginkan dari kak Feby. Melangkah lagi kami ke tepi sungai , meletakan alat mancing disana. Lalu setelah melepas kaos yang kami kenakan, kami langsung terjun ke dalam air.
Byurr! Huwaaa! Segar sekali rasanya mandi disungai ketika siang bolong begini.
Kami berenang cukup lama. Hingga lupa waktu dan tak terasa hari akan menjelang petang setelah adzan asar berkumandang. Buru – buru aku dan kak Feby menepi ke tepi sungai. Dengan gerakan cepat memakai kembali kaos yang tadi ditinggalkan dan mengambil alat memancing , setelah berlari  meninggalkan tepi sungai, menuju rumah. Langkah lebarku untuk mencapai rumah sontak berhenti. Menyusul kak Feby dengan langkah kecil hingga kami berdua berdiri sejajar diradius beberapa meter dari pintu rumah, yang sudah terbuka lebar. Pintu terbuka lebar? Setahuku , kak Feby sudah menutupnya bahkan menguncinya sebelum kami berangkat ke sungai untuk memancing. Rasa takut perlahan menguasai hatiku. Terbayang wajah marah ibu, dan tatapan garangnya dengan sebilah rotan digenggamanya. “ Kak Feby” aku memanggil pelan seraya menarik – narik ujung kaos yang dikenakanya. Kak Feby tak menjawab, bahkan tak menoleh padaku. Kedua alis tebalnya justru bertautan, tanda cemas. Tahu betul kami, akan mendapat pecut dari ibu ketika masuk rumah dalam keadaan pakaian basah. Kami mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu dipukuli ibu.
“ Nggak apa apa. Ayo masuk, nanti masuk angin” kak Feby menggengam pergelangan tanganku. Setengah menarik agar aku hendak bergerak, pasalnya kaki ini mendadak kaku. Kak Feby berjalan lebih dulu, semetara aku menyusul selangkah dibelakangnya. Kak Feby mengucapkan salam saat memasuki rumah namun, tak ada jawaban dari dalam. Malah isak tangis lirih yang terdengar saling bersahut – sahutan.
Suara itu aku mengenalnya. Kak Caca dan adikku Putri. “ Sudah ibu bilang, jangan ikut ibu pulang! Tinggal saja dengan ayahmu!” suara ibu lantang meneriaki dua gadis yang tengah meringkuk sembari menangis dihadapannya. Kak Caca dapat pukulan pertama, mendarat dilengan kanannya. Cukup kuat ibu memukul, hingga keluarlah rintihan kesakitan dari bibir kak Caca. Pukulan kedua diarahkan ke bahu Putri.
Tangisku pecah melihat dua saudaraku dalam keadaan tersiksa. “Ibu jangan!” kak Feby berlari tiba – tiba , menghampiri Putri dan kak Caca kemudian memeluk dari depan, hingga pukulan ibu yang kesekian kalinya mendarat keras di punggung kak Feby. “ Ibu.... su-sudah” aku meminta penuh tangis. Hatiku serasa diiris melihat Putri dan kak Caca yang menangis sesengukan. Bahu keduannya sampai berguncang pelan.
“ Oh, kau juga mau dipukul? Ayo sini! Kalian semua anak – anak yang merepotkan, sama seeprti ayah kalian!” ibu menarik lenganku cukup kuat, hingga tubuh mungil ini terseret dan bergabung dengan ke tiga saudaraku. Kak Caca, kak Feby, dan Putri.
Bergiliran ibu memukulkan ranting kayu yang keras itu ke kulit kami. Kadang dibahu, lengan, betis, dan punggung. Ibu tak terkendali, semakin keras suara rintihan kami, semakin keras pula ibu memukul. Rasanya sakit sekali dan rasa perih terasa di setiap bagian tubuh. Bagaimana mungkin kami bisa berhenti menangis.
Malam hampir larut. Kami berempat masih terjaga, berbaring diatas balai bambu beralaskan tikar, yang menjadi tempat  kami tidur. Kak Caca bercerita tetntang kejadian siang hari tadi, penyebab ia dan Putri tak jadi tinggal bersama ayah di kota.
Ternyata ayah marah besar ketika ibu datang membawa kak Caca dan Putri ke tempat ia bekerja, dan meminta agar ayah gantian merawat mereka. Kata kak Caca, ayah tinggal disebuah perumahan yang disediakan khusus untuk para pekerja.
“Tempatnya bagus, nyaman, dan bersih. Beda jauhlah dengan rumah kita,” tutur kak Caca sambil menepuk nepuk punggung Putri pelan, hingga ia tertidur.
Ayah bertengkar hebat dengan ibu. Lalu ibu menyuruh kak Caca dan Putri untuk jangan ikut ibu pulang dan tinggal bersama ayah. Namun, ayah malah memaksa kak Caca dan Putri agar ikut ibu pulang. Awalnya kak Caca dan Putri tidak mau. Namun , ayah malah mendorong dan mengusir.
Dua hari berlalu, ayah pulang ke rumah. Namun, malah bertengkar hebat dengan ibu. Kami ketakutan mendengar kekacauan diluar kamar hanya bisa saling memeluk menguatakan satu sama lain.
“Aku menyesal sudah menikah denganmu mas!” Terakhir itu yang ku dengar terucap dari bibir ibukku. Lalu keributan tadi terhenti dan susanan menjadi hening. Saat aku mengintip ke luar dari tirai pintu kamar, terlihat ibu berjalan bergegas keluar rumah dengan tas besar ditangan. Ibu pergi, tetapi tak pamit dan tak tahu akan pergi ke mana dan kapan akan kembali?.
Sore hari, ayah berpamitan kepada kami. Ia kembali ke kota, memberikan sejumlah uang kepada kak Caca dan berpesan agar kak Caca merawat kami dengan baik. Kak Caca anak yang baik, ia menuruti pesan ayah. Meskipun malam harinya ia menagis bersama Putri ketika hendak tidur.
Berhari – hari, berminggu – minggu sampai berbulan – bulan. Ibu tak kunjung pulang, padahal kami senantiasa menunggu. Rindu, itulah yang kami rasakan. Sementara ayah tak ada bedanya dengan ibu. Ia hanya menitipkan uang makan sehari – hari untuk kami kepada paman.
Kami merasa tak aman tinggal dirumah sendiri. Merasa tak terlindungi dari badai. Seperti, rumah tanpa atap. Ada dinding dan tiang namun, tak ada atap yang bisa melindungi penghuni di dalamnya dari hujan dan panas. Atap pelindung itu adalah ayah dan ibu. Jika mereka ada, entah kenapa kami anak – anaknya akan merasa aman.
Empat bulan kemudian, ibu masih belum pulang. Namun, kabar beritannya disampaikan paman kepada kami. Ke empat anak yang ditinggalkannya. Ibu menikah lagi, kata paman. Dengan seorang pria, yang entah bagaimana rupanya, dan entah bagimana bisa menggantikan ayah.
Sejak kabar ibu menikah lagi tersiar mungkin hingga ke penjuru desa. Ayah tak lagi mengirim uang untuk biaya makan kami sehari – hari , atau sekedar datang menjenguk kami, anak – ankanya.
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar