Halaman

Sabtu, 09 Desember 2023

Cerpen: Sebuah Tujuan

 

Sebuah Tujuan

Humaira Azmi Sulthony

 

            Srek! Srek!

            Goresan pena yang acak memenuhi selembar kertas putih. Ivan menuliskan seluruh ide yang ada di kepalanya. Tulis, tidak sesuai, remas, buang. Ivan meremas-remas kertas menjadi sebuah bola, lalu melemparnya sembarang ke dalam tempat sampah di samping meja. Begitulah berkali-kali.

            Ivan mengacak-acak rambutnya gemas. Dari pagi-pagi buta ia berkutat dengan menulis ide untuk novel terbarunya. Sampai-sampai matahari sudah tepat di atas kepala, masih saja buntu. Ia menyandarkan badannya di punggung kursi, mengehela napas lelah.

            Netra abu-abunya menatap langit-langit, tenggelam dalam lamunan sendiri. Untuk apa dirinya susah-susah memikirkan sebuah cerita kalau pada akhirnya tidak ada yang menikmati? Untuk apa ia menulis? Ivan mengusap wajahnya, pikirannya kalut. Untuk hiburan? Untuk menuangkan isi pikiran dan imajinasi? Atau ingin menjadi terkenal? Ivan menggelengkan kepala, mendengus singkat. Ia sendiri lupa alasan utamanya.

            Ia bangkit dari duduknya. Dengan langkah lunglai, Ivan keluar dari zona nyamannya, pergi ke arah dapur. Dari pagi ia belum minum seteguk pun air. Kenalkan, Ivan Adhiyaksa namanya. Usianya 20 tahun, seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia. Awalnya, ia memang bercita-cita menjadi seorang penulis, tapi, pemuda pesimis itu menjadi putus asa setelah karyanya ditolak berkali-kali oleh penerbit yang berbeda-beda.

            Setelah menghabiskan waktu di luar kamar, Ivan kembali ke kamarnya. Duduk di meja yang berserakan kertas-kertas dan laptop yang menampilkan website menulis yang berisi novelnya yang belum rampung. Ia hendak melanjutkan menulis novel kalau saja tidak ada notifikasi dari ponselnya.

            Ting!

            Ivan melirikkan mata. Lantas meraih ponselnya. Dari layarnya terlihat notifikasi dari website-nya, itu adalah komentar dari pembaca. Matanya membelalak senang. Dengan segera ia membaca.

            ‘Jelek amat ceritanya. Niat jadi penulis gak, sih??’

            Hatinya mencelos, matanya menatap kosong layar ponsel. Lagi-lagi dirinya mendapat hinaan. Kepalanya ia rebahkan di meja sambil memejamkan mata. Buat apa aku terus-terusan berusaha, kalau nanti akhirnya juga sama saja? Tidak ada yang menghargai karyaku, kecuali orang tuaku, dulunya. Ivan mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan rasa pesimisnya.

            Sebaiknya aku beristirahat dulu. Gumamnya sambil berjalan menuju kasur.

            Ivan merebahkan tubuh lelahnya di kasur. Kepalanya menoleh ke arah pigura kecil di atas nakas sebelah kiri. Pigura kecil berisikan foto keluarga bahagia. Tangannya meraih pigura kecil itu, lalu memandanginya.

---

            Seorang anak dengan netra abu-abu dan rambut hitam sedikit panjang terlihat tersenyum lebar dengan membawa sebuah piala besar. Di samping kanan kirinya adalah ayah dan ibunya ikut tersenyum. Bangga dengan prestasi anaknya. Anak itu telah memenangkan lomba menulis tingkat nasional.

            Ayah dan ibunya adalah orang yang suportif, selalu mendukung dan membebaskan pilihannya. Ivan sungguh senang dengan menulis. Ia sering mengirimkan karyanya ke majalah dinding sekolah ketika sekolah dasar dan menengah, serta ke penerbit buku anak-anak. Orang tuanya tidak melarangnya untuk berkarya di masa mencari ilmu.

            Sampai pada suatu kejadian, yang membuat Ivan merasa kehilangan arah dan kehilangan semangat menulis. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Ivan yang mendengar kabar itupun langsung menangis. Dunianya serasa runtuh begitu saja. Ivan yang masih remaja dirawat oleh paman dan bibinya.

            “Ivan sekarang tinggal bersama paman dan bibi, ya? Ivan harus tabah dengan kematian ayah ibu. Kemari,” ucap bibinya. Meraih tubuh Ivan ke dalam pelukan. Ivan yang tadinya menatap kosong lantas menumpahkan air mata yang menganak sungai di bahu bibinya. Bibi hanya diam dan mengelus pucuk kepalanya, membiarkan anak itu mencurahkan seluruh isi hatinya.

            Selama ia tinggal di rumah paman bibinya, Ivan menulis sebuah buku jurnal. Entah berisi coret-coretan pena, luapan emosi yang tidak bisa disampaikan, maupun keluh kesahnya akan kerinduannya dengan orang tua. Bisa dibilang, sekarang Ivan menulis sebagai tempat pelarian dari kenyataan.

            Suatu ketika, Ivan ingin mengirimkan karyanya ke penerbit buku ternama. Paman bibinya senang, Ivan dapat kembali berkarya. Tapi, sekarang tidak seperti dulu. Karyanya ditolak begitu saja. Keadaan Ivan semakin terpuruk. Ia menjadi pribadi yang pesimis.

            Selang beberapa tahun kemudian, Ivan lulus dari SMA dan melanjutkan pendidikan di universitas ternama. Di sana, ia bertemu seseorang yang sekarang menjadi sahabatnya, Arjuna Raefan. Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi (PJKR). Arjuna orang yang murah senyum, sopan, pandai, dan dapat diandalkan.

            “Halo! Namaku Arjuna, siapa namamu?” seseorang menghampiri Ivan di pojokan kantin, sedang menikmati menulis novel di laptopnya. Ivan terperanjat, kaget karena kehadiran manusia yang tersenyum semringah.

            Ivan mengedipkan matanya berkali-kali. “...Ah, namaku Ivan...” balasnya ragu-ragu. Kenapa orang itu datang menghampirinya?

            “Kantinnya penuh, tidak ada tempat duduk lagi kecuali di sini.” Arjuna mengengok ke sana kemari, tangannya memegang nampan berisi makan siang. “Jadi, izinkan aku duduk di sini, ya?”

            Masih ragu dan canggung dengan Arjuna, Ivan berpikir cukup lama. Tapi, sepertinya Ivan tidak terlalu mempermasalahkannya.

            “Boleh, silakan,” Ivan mempersilakan. Arjuna berterima kasih, lalu duduk di sampingnya. Ivan kembali berkutat dengan laptopnya.

            Sambil memakan soto ayam favoritnya, Arjuna melihat Ivan yang sedang sibuk.

            “Kamu suka nulis?” celetuk Arjuna.

            Ivan menoleh, “Eh, iya. Aku memang suka menulis. Aku juga anak jurusan Sastra Indo.” Ivan menjelaskan.

           “Oh, anak SasIndo. Aku dari jurusan PJKR. Yang aku suka adalah memanah!” ujarnya dengan semangat. “Boleh aku lihat tulisanmu?” Karena Arjuna kepo dengan tulisan Ivan, ia ingin membacanya.

            Ivan terkesiap.

            Ada orang yang mau membacanya? Biasanya, saat ia masih duduk di SMA, atau karena memang murid-muridnya seperti itu semua, ia selalu diejek karena suka menyendiri dan sibuk menulis. Tapi Ivan senang. Setidaknya ia merasa dihargai.

            “Boleh.” Ivan menggeser laptopnya sehingga Arjuna bisa membacanya.

            Wajah Arjuna berseri-seri, “Terima kasih, Ivan!” Arjuna membaca novel buatan Ivan. Sedangkan Ivan menelan ludahnya gelisah, takut jika ternyata Arjuna mengejek tulisannya.

            “Bagus sekali! Alurnya seru! Kamu benar-benar cocok jadi penulis,” Arjuna memuji Ivan. Ia sudah selesai membaca. “Aku tidak sabar kelanjutannya,” ucap Arjuna bersemangat.

            Mata Ivan melebar. Senyum mulai terpatri di wajahnya. “Iya, terima kasih. Akan kulanjutkan. Jika sudah selesai aku beri tahu kamu.” Setelah itu, mereka bertukar kontak dan menjadi teman dekat.

            Semenjak kedatangan Arjuna di kehidupannya, ia mulai merasa lebih baik. Itu semua berkat saran dan masukan Arjuna ketika dirinya sedang galau.

---

            Mata Ivan mulai menitikkan air mata. Ia mengingat kenangan-kenganannya dahulu. Ia usap kedua matanya dengan jari. Tangannya memeluk pigura kecil itu, dan jatuh tertidur selama beberapa jam.

            Kring! Kring!

            Bunyi telepon dari ponsel membangunkan Ivan. Mata sayunya melirik ke arah nakas. Dari siapa? Pikirnya. Ia meraih ponselnya, dan melihat nama yang tertera. Dari Arjuna. Ivan lantas mengubah posisi tidurannya menjadi duduk.

            “Halo...” suara Ivan serak, karena baru saja bangun.

            Halo! Baru saja bangun tidur?” Suara dari seberang telepon menyapa.

            Ivan tersenyum tipis. “Iya. Ada apa menelepon, Arjuna?”

            Aku hanya berpikir kalau aku ingin datang main.”

            “Boleh saja, aku akan menunggu.” Ivan segera beranjak dari kasurnya dan berjalan keluar kamar. Duduk di sofa ruang tamu. “Oke!” Telepon pun berakhir.

            Beberapa menit kemudian, Arjuna datang. Ia mengetuk pintu tiga kali, dan langsung dibuka oleh Ivan.

            “Selamat sore, apa kabarmu?” Arjuna tersenyum.

            Ivan terkekeh, “Buruk, lagi-lagi karyaku ditolak penerbit.” Ivan menggaruk tengkuk lehernya.

            “Sudah kuduga,” Arjuna tertawa. “Ya sudah, ini, aku bawa makanan. Kamu belum makan dari pagi, kan?” Arjuna berjalan menuju dapur Ivan dan menaruh soto ayam yang baru saja dia beli sebelum ke rumah Ivan.

            Ivan mengekori Arjuna ke dapur. “Tahu dari mana kamu kalau aku belum makan?” Arjuna menuang soto ayam ke dalam mangkuk besar.

            “Menebak saja. Ivan, kan, selalu begitu. Ayo, makan dulu.” Arjuna menyodorkan mangkuk kecil untuk Ivan. Mereka berdua menikmati makan sambil mengobrol.

            “Jadi, gimana proses novelmu?” tanya Arjuna. Ia sudah menghabiskan soto ayamnya duluan. “Sudah kulanjutkan, tapi masih sama saja. Baru sedikit yang membacanya.”  Ivan menjawab dengan suara kecil.

            Arjuna menatap Ivan. “Boleh aku lihat novelnya? Apa kamu punya ide cerita lainnya?”

            Ivan menghentikan gerakan sendoknya. “Boleh,” Ivan mengiyakan.

            Arjuna terlihat senang. Ia dan Ivan segera bangkit dari meja makan dan menuju kamar Ivan. Ivan membukakan pintu kamarnya. Lampu kamarnya remang-remang. Ia hanya menyalakan lampu kecil di setiap sudut kamarnya.

            “Kamu bisa menulis di tempat gelap seperti ini?” Arjuna mencari saklar lampu, lalu menyalakan lampu utama. “Hm?” Arjuna melihat setumpuk sampah kertas di dekat meja Ivan. Ia berjalan mendekati tempat sampah itu. Tangannya meraih gumpalan kertas dan membukanya. Matanya fokus membaca.

            “Kenapa kamu membuang ide-ide fantastis ini? Padahal bagus, loh...” Tatapan Arjuna iba. Kan, sayang, imajinasi keren seperti itu dibuang begitu saja. Arjuna lanjut mengambil gumpalan kertas lain dan merapikannya menjadi lembaran-lembaran. Ia akan menyimpan semuanya untuk dibaca kapan-kapan.

            Ivan hanya menghela napas. “Aku masih mencari ide sempurna untuk sebuah novel yang disukai banyak orang. Mau aku menulis banyak, tetapi tidak ada yang suka, lebih baik tidak usah menulis, kan?” Ivan membuka tirai jendelanya, melihat pemandangan kota dari atas apartemen lantai lima.

            “Aku tidak sehebat dirimu. Kamu dapat diandalkan, berguna. Kadang aku iri dengan orang-orang lain yang selalu mendapat sanjungan.”

            “Jangan merasa rendah diri, Ivan. Tulisanmu itu bagus, aku yakin di luar sana masih ada yang menyukai karyamu. Contohnya aku.” Arjuna berjalan mendekati Ivan, berusaha menghiburnya. Memainkan lembaran-lembaran kertas itu.

            Netra abu yang memancarkan kesedihan memandang ke arah luar jendela. Ivan melamun. Menatap ke arah Sang Surya yang semakin jingga dan mulai tergelincir di arah Barat. Mereka sama-sama diam, bingung ingin membicarakan apa.

            “Selama ini, aku masih ragu dengan tujuanku menulis.” Ivan membuka suara. “Dulu, ketika kejadian yang terjadi pada orang tuaku, aku menulis sebagai pelarian dari kenyataan. Tapi sekarang aku bingung. Kenapa, ya, aku menulis?”

            Netra abu dan hazel saling bertatapan.

            “Sebuah tujuan...” Arjuna bergumam.

            “Bicara soal tujuan, aku pun masih ragu dengan alasan aku memanah. Kalau menurutku, tujuanku adalah sebagai pengurang rasa lelah dan stres selama kuliah. Dengan melakukan hal yang kamu suka, itu dapat mengurangi beban di kepala. Juga, aku ingin membanggakan ayah bundaku.” Arjuna menjelaskan sambil memeragakan gerakan menarik busur panah dan melepaskannya.

            “Merasa tidak percaya diri itu wajar. Aku juga sering seperti itu. Ketika lawanmu jauh lebih hebat darimu, kadang membuatku merasa paling rendah. Namun, aku selalu berpikiran positif. Aku yakin dengan diriku sendiri, bahwa aku bisa, aku mampu. Menang atau kalah, bagus atau tidak, tetaplah bangga dengan dirimu. Jangan dengarkan ucapan orang-orang. Jadi, jangan merasa pesimis untuk menyebarkan tulisanmu di dunia maya atau publik. Lagipula, menulis itu menuangkan isi pikiran, kamu bisa sampaikan pendapatmu lewat tulisan.”

            Ivan melongo mendengar nasihat Arjuna yang panjang lebar. Kamar itu menjadi sunyi lagi. Atau hanya terdengar suara napas ngos-ngosan Arjuna.

            “Ah, um, terima kasih nasihatnya.” Ivan bingung harus merespons apa. Ia sungguh berterima kasih dengan sahabatnya itu.

            Arjuna lalu tertawa. Menepuk-nepuk bahu Ivan. “Gausah canggung gitu. Ayo, lanjutin novelnya. Aku tidak sabar kelanjutannya!” Ivan menyunggingkan senyum, ia senang.

            Ivan terkekeh, lalu berjalan menuju mejanya. Hendak melanjutkan novel. Arjuna menonton dari belakang sambil membaca-baca kertas yang dibuang Ivan.

            Berkat saran dari Arjuna, ia mengganti pemikirannya menjadi lebih baik. Ia berusaha menjadi orang yang lebih positif.

 

Tamat.