Sebuah Tujuan
Humaira Azmi Sulthony
Srek! Srek!
Goresan
pena yang acak memenuhi selembar kertas putih. Ivan menuliskan seluruh ide yang
ada di kepalanya. Tulis, tidak sesuai, remas, buang. Ivan meremas-remas kertas
menjadi sebuah bola, lalu melemparnya sembarang ke dalam tempat sampah di
samping meja. Begitulah berkali-kali.
Ivan
mengacak-acak rambutnya gemas. Dari pagi-pagi buta ia berkutat dengan menulis
ide untuk novel terbarunya. Sampai-sampai matahari sudah tepat di atas kepala,
masih saja buntu. Ia menyandarkan badannya di punggung kursi, mengehela napas
lelah.
Netra
abu-abunya menatap langit-langit, tenggelam dalam lamunan sendiri. Untuk apa
dirinya susah-susah memikirkan sebuah cerita kalau pada akhirnya tidak ada yang
menikmati? Untuk apa ia menulis? Ivan mengusap wajahnya, pikirannya kalut. Untuk
hiburan? Untuk menuangkan isi pikiran dan imajinasi? Atau ingin menjadi
terkenal? Ivan menggelengkan kepala, mendengus singkat. Ia sendiri lupa
alasan utamanya.
Ia
bangkit dari duduknya. Dengan langkah lunglai, Ivan keluar dari zona nyamannya,
pergi ke arah dapur. Dari pagi ia belum minum seteguk pun air. Kenalkan, Ivan Adhiyaksa
namanya. Usianya 20 tahun, seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia. Awalnya,
ia memang bercita-cita menjadi seorang penulis, tapi, pemuda pesimis itu menjadi
putus asa setelah karyanya ditolak berkali-kali oleh penerbit yang
berbeda-beda.
Setelah
menghabiskan waktu di luar kamar, Ivan kembali ke kamarnya. Duduk di meja yang
berserakan kertas-kertas dan laptop yang menampilkan website menulis
yang berisi novelnya yang belum rampung. Ia hendak melanjutkan menulis
novel kalau saja tidak ada notifikasi dari ponselnya.
Ting!
Ivan
melirikkan mata. Lantas meraih ponselnya. Dari layarnya terlihat notifikasi
dari website-nya, itu adalah komentar dari pembaca. Matanya membelalak
senang. Dengan segera ia membaca.
‘Jelek
amat ceritanya. Niat jadi penulis gak, sih??’
Hatinya mencelos, matanya menatap kosong layar ponsel. Lagi-lagi
dirinya mendapat hinaan. Kepalanya ia rebahkan di meja sambil memejamkan mata. Buat
apa aku terus-terusan berusaha, kalau nanti akhirnya juga sama saja? Tidak ada
yang menghargai karyaku, kecuali orang tuaku, dulunya. Ivan mengusap
wajahnya, mencoba menghilangkan rasa pesimisnya.
Sebaiknya
aku beristirahat dulu. Gumamnya sambil berjalan menuju kasur.
Ivan
merebahkan tubuh lelahnya di kasur. Kepalanya menoleh ke arah pigura kecil di atas
nakas sebelah kiri. Pigura kecil berisikan foto keluarga bahagia. Tangannya
meraih pigura kecil itu, lalu memandanginya.
---
Seorang
anak dengan netra abu-abu dan rambut hitam sedikit panjang terlihat tersenyum
lebar dengan membawa sebuah piala besar. Di samping kanan kirinya adalah ayah
dan ibunya ikut tersenyum. Bangga dengan prestasi anaknya. Anak itu telah
memenangkan lomba menulis tingkat nasional.
Ayah
dan ibunya adalah orang yang suportif, selalu mendukung dan membebaskan
pilihannya. Ivan sungguh senang dengan menulis. Ia sering mengirimkan karyanya
ke majalah dinding sekolah ketika sekolah dasar dan menengah, serta ke penerbit
buku anak-anak. Orang tuanya tidak melarangnya untuk berkarya di masa mencari
ilmu.
Sampai
pada suatu kejadian, yang membuat Ivan merasa kehilangan arah dan kehilangan
semangat menulis. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Ivan yang
mendengar kabar itupun langsung menangis. Dunianya serasa runtuh begitu saja.
Ivan yang masih remaja dirawat oleh paman dan bibinya.
“Ivan
sekarang tinggal bersama paman dan bibi, ya? Ivan harus tabah dengan kematian
ayah ibu. Kemari,” ucap bibinya. Meraih tubuh Ivan ke dalam pelukan. Ivan yang
tadinya menatap kosong lantas menumpahkan air mata yang menganak sungai di bahu
bibinya. Bibi hanya diam dan mengelus pucuk kepalanya, membiarkan anak itu
mencurahkan seluruh isi hatinya.
Selama
ia tinggal di rumah paman bibinya, Ivan menulis sebuah buku jurnal. Entah
berisi coret-coretan pena, luapan emosi yang tidak bisa disampaikan, maupun
keluh kesahnya akan kerinduannya dengan orang tua. Bisa dibilang, sekarang Ivan
menulis sebagai tempat pelarian dari kenyataan.
Suatu
ketika, Ivan ingin mengirimkan karyanya ke penerbit buku ternama. Paman bibinya
senang, Ivan dapat kembali berkarya. Tapi, sekarang tidak seperti dulu.
Karyanya ditolak begitu saja. Keadaan Ivan semakin terpuruk. Ia menjadi pribadi
yang pesimis.
Selang
beberapa tahun kemudian, Ivan lulus dari SMA dan melanjutkan pendidikan di
universitas ternama. Di sana, ia bertemu seseorang yang sekarang menjadi
sahabatnya, Arjuna Raefan. Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Jasmani,
Kesehatan, dan Rekreasi (PJKR). Arjuna orang yang murah senyum, sopan, pandai,
dan dapat diandalkan.
“Halo!
Namaku Arjuna, siapa namamu?” seseorang menghampiri Ivan di pojokan kantin,
sedang menikmati menulis novel di laptopnya. Ivan terperanjat, kaget karena
kehadiran manusia yang tersenyum semringah.
Ivan
mengedipkan matanya berkali-kali. “...Ah, namaku Ivan...” balasnya ragu-ragu. Kenapa
orang itu datang menghampirinya?
“Kantinnya
penuh, tidak ada tempat duduk lagi kecuali di sini.” Arjuna mengengok ke sana
kemari, tangannya memegang nampan berisi makan siang. “Jadi, izinkan aku duduk
di sini, ya?”
Masih
ragu dan canggung dengan Arjuna, Ivan berpikir cukup lama. Tapi, sepertinya
Ivan tidak terlalu mempermasalahkannya.
“Boleh,
silakan,” Ivan mempersilakan. Arjuna berterima kasih, lalu duduk di sampingnya.
Ivan kembali berkutat dengan laptopnya.
Sambil
memakan soto ayam favoritnya, Arjuna melihat Ivan yang sedang sibuk.
“Kamu
suka nulis?” celetuk Arjuna.
Ivan
menoleh, “Eh, iya. Aku memang suka menulis. Aku juga anak jurusan Sastra Indo.”
Ivan menjelaskan.
“Oh,
anak SasIndo. Aku dari jurusan PJKR. Yang aku suka adalah memanah!” ujarnya
dengan semangat. “Boleh aku lihat tulisanmu?” Karena Arjuna kepo dengan tulisan
Ivan, ia ingin membacanya.
Ivan
terkesiap.
Ada
orang yang mau membacanya? Biasanya, saat ia masih duduk di SMA, atau karena
memang murid-muridnya seperti itu semua, ia selalu diejek karena suka
menyendiri dan sibuk menulis. Tapi Ivan senang. Setidaknya ia merasa dihargai.
“Boleh.”
Ivan menggeser laptopnya sehingga Arjuna bisa membacanya.
Wajah
Arjuna berseri-seri, “Terima kasih, Ivan!” Arjuna membaca novel buatan Ivan.
Sedangkan Ivan menelan ludahnya gelisah, takut jika ternyata Arjuna mengejek
tulisannya.
“Bagus
sekali! Alurnya seru! Kamu benar-benar cocok jadi penulis,” Arjuna memuji Ivan.
Ia sudah selesai membaca. “Aku tidak sabar kelanjutannya,” ucap Arjuna bersemangat.
Mata
Ivan melebar. Senyum mulai terpatri di wajahnya. “Iya, terima kasih. Akan
kulanjutkan. Jika sudah selesai aku beri tahu kamu.” Setelah itu, mereka
bertukar kontak dan menjadi teman dekat.
Semenjak
kedatangan Arjuna di kehidupannya, ia mulai merasa lebih baik. Itu semua berkat
saran dan masukan Arjuna ketika dirinya sedang galau.
---
Mata
Ivan mulai menitikkan air mata. Ia mengingat kenangan-kenganannya dahulu. Ia
usap kedua matanya dengan jari. Tangannya memeluk pigura kecil itu, dan jatuh
tertidur selama beberapa jam.
Kring!
Kring!
Bunyi
telepon dari ponsel membangunkan Ivan. Mata sayunya melirik ke arah nakas. Dari
siapa? Pikirnya. Ia meraih ponselnya, dan melihat nama yang tertera. Dari
Arjuna. Ivan lantas mengubah posisi tidurannya menjadi duduk.
“Halo...”
suara Ivan serak, karena baru saja bangun.
“Halo!
Baru saja bangun tidur?” Suara dari seberang telepon menyapa.
Ivan
tersenyum tipis. “Iya. Ada apa menelepon, Arjuna?”
“Aku
hanya berpikir kalau aku ingin datang main.”
“Boleh
saja, aku akan menunggu.” Ivan segera beranjak dari kasurnya dan berjalan
keluar kamar. Duduk di sofa ruang tamu. “Oke!” Telepon pun berakhir.
Beberapa
menit kemudian, Arjuna datang. Ia mengetuk pintu tiga kali, dan langsung dibuka
oleh Ivan.
“Selamat
sore, apa kabarmu?” Arjuna tersenyum.
Ivan
terkekeh, “Buruk, lagi-lagi karyaku ditolak penerbit.” Ivan menggaruk tengkuk
lehernya.
“Sudah
kuduga,” Arjuna tertawa. “Ya sudah, ini, aku bawa makanan. Kamu belum makan
dari pagi, kan?” Arjuna berjalan menuju dapur Ivan dan menaruh soto ayam yang
baru saja dia beli sebelum ke rumah Ivan.
Ivan
mengekori Arjuna ke dapur. “Tahu dari mana kamu kalau aku belum makan?” Arjuna
menuang soto ayam ke dalam mangkuk besar.
“Menebak
saja. Ivan, kan, selalu begitu. Ayo, makan dulu.” Arjuna menyodorkan mangkuk
kecil untuk Ivan. Mereka berdua menikmati makan sambil mengobrol.
“Jadi,
gimana proses novelmu?” tanya Arjuna. Ia sudah menghabiskan soto ayamnya
duluan. “Sudah kulanjutkan, tapi masih sama saja. Baru sedikit yang
membacanya.” Ivan menjawab dengan suara
kecil.
Arjuna
menatap Ivan. “Boleh aku lihat novelnya? Apa kamu punya ide cerita lainnya?”
Ivan
menghentikan gerakan sendoknya. “Boleh,” Ivan mengiyakan.
Arjuna
terlihat senang. Ia dan Ivan segera bangkit dari meja makan dan menuju kamar
Ivan. Ivan membukakan pintu kamarnya. Lampu kamarnya remang-remang. Ia hanya
menyalakan lampu kecil di setiap sudut kamarnya.
“Kamu
bisa menulis di tempat gelap seperti ini?” Arjuna mencari saklar lampu, lalu
menyalakan lampu utama. “Hm?” Arjuna melihat setumpuk sampah kertas di dekat
meja Ivan. Ia berjalan mendekati tempat sampah itu. Tangannya meraih gumpalan
kertas dan membukanya. Matanya fokus membaca.
“Kenapa
kamu membuang ide-ide fantastis ini? Padahal bagus, loh...” Tatapan Arjuna iba.
Kan, sayang, imajinasi keren seperti itu dibuang begitu saja. Arjuna lanjut
mengambil gumpalan kertas lain dan merapikannya menjadi lembaran-lembaran. Ia
akan menyimpan semuanya untuk dibaca kapan-kapan.
Ivan
hanya menghela napas. “Aku masih mencari ide sempurna untuk sebuah novel yang
disukai banyak orang. Mau aku menulis banyak, tetapi tidak ada yang suka, lebih
baik tidak usah menulis, kan?” Ivan membuka tirai jendelanya, melihat
pemandangan kota dari atas apartemen lantai lima.
“Aku
tidak sehebat dirimu. Kamu dapat diandalkan, berguna. Kadang aku iri dengan
orang-orang lain yang selalu mendapat sanjungan.”
“Jangan
merasa rendah diri, Ivan. Tulisanmu itu bagus, aku yakin di luar sana masih ada
yang menyukai karyamu. Contohnya aku.” Arjuna berjalan mendekati Ivan, berusaha
menghiburnya. Memainkan lembaran-lembaran kertas itu.
Netra
abu yang memancarkan kesedihan memandang ke arah luar jendela. Ivan melamun.
Menatap ke arah Sang Surya yang semakin jingga dan mulai tergelincir di arah
Barat. Mereka sama-sama diam, bingung ingin membicarakan apa.
“Selama
ini, aku masih ragu dengan tujuanku menulis.” Ivan membuka suara. “Dulu, ketika
kejadian yang terjadi pada orang tuaku, aku menulis sebagai pelarian dari
kenyataan. Tapi sekarang aku bingung. Kenapa, ya, aku menulis?”
Netra
abu dan hazel saling bertatapan.
“Sebuah
tujuan...” Arjuna bergumam.
“Bicara
soal tujuan, aku pun masih ragu dengan alasan aku memanah. Kalau menurutku,
tujuanku adalah sebagai pengurang rasa lelah dan stres selama kuliah. Dengan
melakukan hal yang kamu suka, itu dapat mengurangi beban di kepala. Juga, aku
ingin membanggakan ayah bundaku.” Arjuna menjelaskan sambil memeragakan gerakan
menarik busur panah dan melepaskannya.
“Merasa
tidak percaya diri itu wajar. Aku juga sering seperti itu. Ketika lawanmu jauh
lebih hebat darimu, kadang membuatku merasa paling rendah. Namun, aku selalu
berpikiran positif. Aku yakin dengan diriku sendiri, bahwa aku bisa, aku mampu.
Menang atau kalah, bagus atau tidak, tetaplah bangga dengan dirimu. Jangan
dengarkan ucapan orang-orang. Jadi, jangan merasa pesimis untuk menyebarkan
tulisanmu di dunia maya atau publik. Lagipula, menulis itu menuangkan isi pikiran,
kamu bisa sampaikan pendapatmu lewat tulisan.”
Ivan
melongo mendengar nasihat Arjuna yang panjang lebar. Kamar itu menjadi sunyi
lagi. Atau hanya terdengar suara napas ngos-ngosan Arjuna.
“Ah,
um, terima kasih nasihatnya.” Ivan bingung harus merespons apa. Ia sungguh
berterima kasih dengan sahabatnya itu.
Arjuna
lalu tertawa. Menepuk-nepuk bahu Ivan. “Gausah canggung gitu. Ayo, lanjutin
novelnya. Aku tidak sabar kelanjutannya!” Ivan menyunggingkan senyum, ia
senang.
Ivan
terkekeh, lalu berjalan menuju mejanya. Hendak melanjutkan novel. Arjuna
menonton dari belakang sambil membaca-baca kertas yang dibuang Ivan.
Berkat
saran dari Arjuna, ia mengganti pemikirannya menjadi lebih baik. Ia berusaha
menjadi orang yang lebih positif.
Tamat.