Cerita Inspiratif
Kumpulan Cerita Inspiratif (Wahana Publikasi Karya Siswa)
Sabtu, 13 Januari 2024
Kamis, 04 Januari 2024
Cerpen: The Mystery of Book
The
Mystery of Book
Akrimah
Khairunnisa
Kriiiinnnggg!!!
Bunyi alarm memenuhi seluruh ruangan kamar.
Naki yang tengah terlelap di atas ranjangnya itu terganggu. Alisnya mengernyit mendengar suara alarm.
Perlahan-lahan matanya mulai terbuka, cahaya menembus melewati
celah-celah jendela kamar tidur miliknya. Tangannya tergerak mematikan alarm,
tubuhnya perlahan-lahan terduduk walaupun masih enggan untuk beranjak dari
ranjang. Pandangannya kabur, ia mengucek matanya. Perlahan pandangannya
mulai terlihat jelas.
Naki segera berdiri dan
merapikan ranjang miliknya yang berantakan. Naki kemudian meraih handuknya yang
tergantung di gagang pintu kamar mandi kamarnya. Langkahnya membawa Naki menuju kamar mandi. Membuka pintu, memasuki
kamar mandi, dan
mulai membersihkan diri. Beberapa menit berlalu, Naki keluar dari sana seraya mengusap-usap
rambutnya yang masih basah terkena air. Kakinya melangkah keluar dari kamar mandi. Naki bergegas menuju
dapur menyantap makanan yang sudah dibuatkan ibunya.
Kini Naki sudah berada di sekolah, Naki berlari melewati koridor sekolah.
Tanpa disadari, Naki
menabrak seseorang yang berada di hadapannya, ‘ Bruk ‘ buku-buku yang dibawa oleh seseorang yang berada di hadapan
Naki jatuh berserakan kemana-mana. “Huh, sakitnya.. “ Ringis Naki kesakitan,
Naki menoleh ke arah
orang yang sudah ia tabrak. Naki menatapnya seraya membaca “name tage” yang berada di bajunya. “ Reo... “ Gumamnya
hampir tidak bisa didengar siapa pun. Koridor tempat Naki berada sepi tidak ada
siapa pun berada kecuali mereka berdua.
“ Ah maaf aku tadi
menabrakmu, nih kacamata punyamu,
“ ucap Naki menyerahkan kacamata milik Reo,
Reo mengambil kacamata miliknya
dan mulai memakainya. “ Ah enggak apa-apa, aku juga minta maaf. “ ujar Reo
tersenyum hangat ke arah
Naki. Naki membalas senyuman Reo. “ Namaku Naki dari
kelas sepuluh B. ” Ujar Naki memperkenalkan
diri seraya mengulurkan tangannya, Reo membalas uluran tangan Naki. “
Perkenalkan namaku Reo dari kelas sepuluh A, salam kenal. “ ujar Reo ikut
memperkenalkan dirinya juga. Mereka melepaskan uluran tangan mereka, Reo mulai
mengumpulkan buku-buku yang berserakan ke mana-mana. Naki yang sempat diam
sesaat mulai ikut membantu mengambil buku-buku yang berada di lantai.
Beberapa menit kemudian mereka berdua selesai
mengambil buku yang berserakan di lantai.
“ Aku bantu ya, soalnya kamu kayaknya keberatan bawa Bukunya. Emangnya bukunya
mau kamu bawa ke mana? “ Tanya Naki sambil menawarkan bantuan kepada Reo. Reo
mengangguk mengiyakan, “ Ah boleh terima kasih, mau dibawa ke perpustakaan. “
Jelas Reo mengangkat sebagian tumpukan dan sebagai lagi diangkat oleh Naki.
Mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan bersama, hingga bel masuk
berbunyi.
***
Istirahat tiba, Naki berlari menuju koridor tempat ia tertabrak tadi
pagi. “ Akh, di mana
hand phoneku
tadi, “
ucap
Naki sambil mengacak-acak rambutnya. Naki mulai menyusuri koridor yang mulai sepi. Beberapa
murid berjalan di koridor tersebut, tetapi saat ia tanyakan mereka menggeleng
kepala tidak tahu. Naki baru sadar jika handphone miliknya menghilang saat ia
ingin mencari sesuatu di handphonenya.
Saat hendak ingin mencarinya, suara familier memasuki indra pendengaran
Naki. Menarik atensi Naki yang tengah mencari handphone miliknya, “ Naki!! “
Teriak Reo menggema di sepanjang koridor. Naki melambaikan tangan kanannya ke arah Reo seketika Naki berlari kecil kearah
Reo. “ Huh, ah maaf aku cuman mau mengembalikan handphone punyamu. Nih, maaf ya
baru ngasih sekarang soalnya tadi aku lupa, maaf ya... “ Ujar Reo seraya mengelap keringat
yang keluar dan menyerahkan handphone milik Naki.
“ Kau suka
buku
apa Naki? “ Tanya Reo kepada Naki, yang sekarang pandangannya tertuju pada
handphone miliknya. “ Ah komik mungkin, tapi jarang, kalu novel aku udah keburu mengantuk.
Ya paling cuman buku pelajaran. “ Jawab Naki tanpa menoleh sedikit pun ke arah Reo. Reo mengaguk paham.
“ Mau kutunjukkan
keseruan membaca novel ? Kan novel itu enggak ada
gambarnya tapi beberapa ada cuman sedikit sih mau enggak? “ tawar Reo dengan semangat
menunggu jawaban dari Naki. “ Oh... boleh, lagi pula aku juga enggak
ada kegiatan.“ Jawab Naki mengangguk
setuju seraya memasukkan hand phonenya
ke dalam saku celana.
Mereka berjalan menuju
perpustakaan. Siswa-siswa di lapangan sekolah tampak berkumpul dan berolah raga. Beberapa siswa di depan kelas tengah mengobrol dan menyantap makan, entah yang
mereka beli atau pun yang mereka bawa dari rumah. “ Kenapa kamu kalau baca novel keburu
mengantuk? “ Tanya Reo mengernyit alisnya heran, menurutnya setidaknya ada
novel yang Naki suka tapi sepertinya tidak ada. “ Ah mungkin itu penyakitku,
kadang buku pelajaran aku juga begitu. Bukannya seperti itu normal saja, kan?
“ Ujar Naki terkekeh kecil
tanpa merasa bersalah.
“ Eh emangnya kayak gitu normal ya? “ Tanya Reo menoleh dan menatap tajam ke arah
Naki.
Naki yang ditatap seperti itu gelagapan. Ia bingung untuk berbicara mencoba
memikirkan jawaban yang tepat. “ Itu gimana ya jelasinnya susah.. Itu mungkin
juga enggak baik juga sih malas membaca karena kalau malas membaca wawasan jadi
kurang, tapi gimana ya mataku enggak bisa bekerja sama. “ ucap Naki mengikuti apa yang terbesit di kepalanya. Reo hanya mengangguk-angguk
mengiyakan.
“ Emang beda ya kutu buku. “ Ucap Naki dalam hati. Sesampainya di
perpustakaan, Naki duduk di kursi
menunggu Reo. Reo sedang
meminjam buku yang akan ia rekomendasikan kepada Naki.
Delapan menit kemudian...
“ Ah maaf menunggu lama
Naki... “ Ucap Reo menepuk pundak Naki, membuat Naki terkejut tetapi bertagan
untuk ia tidak berteriak. Bisa-bisa ia
dimarahi oleh petugas perpustakaan. Reo tertawa kecil sembari menggaruk
tengkuknya yang sepertinya tidak gatal.
“ Nah baca ini judulnya
Sherlock Holmes, mungkin kamu suka. Soalnya ini bercerita tentang detektif. “
Ujar Reo menjelaskan buku yang ia sodorkan kepada Naki, Naki hanya mengangguk
dan mulai membaca begitu juga dengan Reo. Ia juga ikut membaca buku pilihannya,
tanpa sadar bel berbunyi tanda sudah saatnya memasuki kelas untuk melanjutkan
pelajaran.
“ Ah, sudah bel. Padahal
lagi di bagian yang seru dasar bel enggak guna, “gerutu Naki sambil mengacak-acak
rambut melampiaskan kekesalannya. “Kamu kan tinggal membuat kartu anggota
perpustakaan, terus kamu bisa bawa pulang. Tentu saja ada batas waktunya. Kalau
kamu terlambat balikin, nanti bisa kena denda. “ Jelas Reo
sambil membereskan buku yang ingin ia pinjam. Naki yang mendengar penjelasan
tersebut langsung menuju meja petugas perpustakaan tanpa memedulikan teman barunya. Reo menoleh ke arah Naki berniat untuk mengajak naki. Ia Mencari
sosok Naki tiba-tiba
menghilang.
“ Bingo, nah itu dia. “ Ucap Reo, ia berlari
kecil menghampiri Naki. Sesampainya di depan meja petugas perpustakaan, mereka
menuliskan buku yang ingin mereka pinjam. Sebelum berpisah menuju kelas masing-masing, mereka bertukar nomor telepon satu sama lain.
Beberapa minggu terakhir, Naki sering sekali datang ke perpustakaan
untuk meminjam buku.
Buku Sherlock Holmes sudah ia baca semua. Kini ia
berniat meminjam buku baru. Ia menyusuri seluruh rak buku perpustakaan
sekolahnya. Naki mengambil salah satu buku yang menurutnya menarik. Ia memperhatikan sampul dan
membaca sinopsis yang berada di belakang. `“ Mystery of book. “
Gumam Naki, ia membawa langkahnya menuju tempat baca yang sudah disediakan.
“ Naki apa yang kau baca?
“ Tanya Reo penasaran.
“ Mystery of Book.
“ jawab Naki seraya membuka buku, Naki mulai membaca buku tersebut dengan saksama. Hingga beberapa saat
kemudian, “ eh bahasa Inggris dan lagi kenapa cuman satu halaman eh kayaknya
enggak sampai satu halaman. Kok bisa? “ tanya Naki, ia membalik halaman
berikutnya ternyata
halaman-halaman berikutnya kosong.
“ Kosong maksudnya gimana? “ tanya Reo penasaran dengan buku yang dibaca
oleh Naki yang
sepertinya membuat Naki darah tinggi.
“ Ini
loh coba lihat!
“ ujar Naki seraya memberikan buku tersebut kepada Reo dengan wajah kesal.
“ Hm.
“ deheman Reo. Reo
mulai membaca buku yang diberikan oleh Naki. Tak lama kemudian, “ eh, iya, ya.
Setelah kucek ternyata bener. Gimana kalau kita terjemahin? “ Tanya Reo, Naki
segera mengambil Handphone miliknya yang berada diatas meja. Membuka Google
translate.
“ Sini
Reo biar kuterjemahin. “ Ucap Naki bersiap menerjemahkan isi buku tersebut, Reo
mendekatkan dirinya pada Naki. Ia mulai
mengetik tulisan yang berada di buku tersebut sedangkan Reo membaca tulisan
tersebut.
“
Indonesian culture, customs, language and natural conditions are attractive to
the world. you can see the beauty with
your own eyes by playing the game... enjoy the game. “
“ Selesai!
“ Ucap Naki dengan sedikit meninggikan nada bicaranya.
“ Apa
artinya? “ Tanya Reo dengan semangat.
“ Artinya... Budaya, Adat, Bahasa, dan kondisi alam Indonesia menjadi
daya tarik bagi dunia. Kalian bisa melihat keindahan tersebut dengan mata
kepala kalian sendiri dengan melakukan permainan... selamat menikmati
permainan. “ ucap
Naki tanpa disadari kerutan muncul di dahinya, menandakan ia bingung.
“ Apa
maksud- “ belum selesai Reo berbicara tiba-tiba cahaya putih muncul begitu saja
entah dari mana asalnya.
Beberapa menit kemudian...
Perlahan-lahan cahaya tersebut menghilang. Reo menatap sekitar, “ buram.
“ ia mengenakan kacamata dan mulai menyesuaikan cahaya yang mulai masuk
melewati kaca mata
miliknya. Naki yang dari tadi menghalau masuknya cahaya dari matanya, juga
menyesuaikan cahaya yang masuk ke kornea matanya. Mereka berdua terkejut saat
menyadari hal tersebut membuat mulut mereka terbuka lebar.
“ Wih
gila ini di mana?
Kok tiba-tiba kita ada di sini, apa lagi itu kan gunung
Krakatau kan, enggak mungkin kita bisa sampai sini. “ ucap Naki tak percaya,
Naki menepuk-nepuk pipinya dengan keras untuk memastikan apakah ini nyata atau tidak.
“ Ini
nyata Ki, sakit kan? Yang pasti ini nyata. “
ujar Reo menahan kedua tangan milik Naki agar si empu tidak menyakiti dirinya
sendiri.
Cahaya biru muncul dari buku yang berada di dekat Reo membuat mereka terkejut.
Reo yang berada dekat dengan buku tersebut terpaksa mengambilnya. Sekarang buku
tersebut telah berada di tangan
Reo. Terlihat
di wajah mereka keraguan untuk membuka buku tersebut. Reo menutup matanya
membuka halaman yang bercahaya, dan sekali lagi mampu membuat tidak bisa
berkata-kata. Buku itu perlahan-lahan mulai memunculkan setiap kata demi kata.
Hingga 1 menit kemudian...
“ Reo kamu bacakan biar aku terjemahkan. “ ujar Naki memberi arahan, Reo
mengangguk setuju dengan arahan Naki.
“ The first mission for you is to have a conversation using Sundanese
now that you are in Banten. You will be
given time to learn Sundanese for 30 minutes before the game starts. someone will come to play with you. have fun and good luck!! “
“ Selesai! Terjemahannya, misi pertama untuk kalian adalah dengan
melakukan percakapan menggunakan bahasa Sunda sekarang kalian berada di Banten.
kalian akan diberi waktu untuk mempelajari bahasa Sunda selama 30 menit sebelum
permainan dimulai. akan datang seseorang yang akan bermain dengan kalian.
selamat bersenang-senang dan semoga beruntung!! “ Ucap Naki membuat mereka
berdua memandang satu sama lain, tiba-tiba Naki berteriak frustasi. Ia
berguling-guling diatas Pasir pantai.
“ Tenanglah aku bisa berbahasa Sunda kok. “ ujar Reo membuat Naki
menghentikan kegiatan berguling-gulingnya.
“ benarkan, lagi enggak bercanda kan? “ Tanya Naki memastikan.
“ Benar kok jadi santai aja. Mungkin hehehe... “ jawab Reo, walaupun
dibagian akhir ucapannya meragukan. Naki hanya pasrah, karena sejujurnya ia
tidak tau permainan apa yang dimaksud dalam buku yang kini berada di hadapan
mereka berdua.
30 menit kemudian...
Naki dan Reo sekarang berada di bawah pohon rindang yang tidak jauh dari
bibir pantai. Naki tertidur dengan pulasnya di bawah pohon, sedangkan Reo bermain
dengan handphone milik Naki karena handphone miliknya berada di perpustakaan
sekolah.
“ Hai! “ sapa seseorang mengagetkan Reo yang sedang asyik-asyiknya bermain
handphone. Tanpa disadari Reo melempar handphone milik Naki, untung saja
handphonenya mendarat tepat ditangan Naki yang sedang tertidur terlentang
begitu saja. Reo menoleh kearah sumber suara, Reo menatap Remaja seumurannya
“ Siapa?
“ Tanya Reo mengernyitkan alisnya.
“ Kuring bakal naroskeun patarosan. “ ( aku yang akan memberikan
pertanyaan. ) Ucapnya dalam bahasa Sunda.
“ Oh
ternyata, kenalkeun nami abdi Reo sareng ieu rerencangan abdi Naki anu nuju
bobo. “ ( oh ternyata, perkenalkan nama
saya Reo dan ini temanku Naki yang sedang tidur. ) Ucap Reo memperkenalkan diri
dan juga memperkenalkan Naki karena sang empu sedang tertidur.
“ Hayu
urang mimitian patarosan munggaran. “ ( mari kita
mulai saja pertanyaan pertama. ) Ajak orang tersebut.
“ Ngan sakedap kuring hoyong naroskeun saha nami anjeun? “ ( Sebentar
aku mau tanya namamu siapa? ) Tanya Reo.
“ Nami abdi Ltya. “ ( Nama saya adalah Ltya. ) jawab Ltya tersenyum, Reo
mengangguk dan membalas senyuman milik Ltya.
“ Punten, hayu urang mimitian ku patarosan anu munggaran, nyaéta,
Nami salah sahiji kasenian Cirebon?
Waktos waleran mung 2 menit ti ayeuna. “ ( Baiklah mari kita mulai
saja pertanyaan pertama yaitu, Sebutkan salah satu kesenian Cirebon? Waktu
menjawab hanya 2 menit dari sekarang. ) Ucap Ltya memulai pertanyaan. Reo yang
mengerutkan keningnya mencoba memahami apa yang Ltya katakan.
“ Ih, henteu kunanaon. Salah
sahiji kasenian Cirebon nyaéta jogét sintren sareng jogét topéng. “ ( Eh,
baiklah. Salah satu kesenian Cirebon yaitu tari sintren dan tari topeng. )
Jawab Reo.
“ Alesan pertanyaan nomer dua.
Sebutkeun opat budaya Yogyakarta? “ ( Baiklah
Pertanyaan nomor dua. Sebutkan empat kebudayaan Yogyakarta? ) Tanya Ltya, Ltya
menatap Reo yang masih berpikir. Hingga beberapa saat kemudian,
“ Budaya Yogyakarta, nyaéta wayang kulit, batik, karawitan,
sekaten. éta ngan sababaraha kuring
nyebatkeun saleresna Masih seueur. “ ( kebudayaan Yogyakarta yaitu wayang
kulit, batik, karawitan, sekaten. Itu hanya beberapa yang kusebutkan sebenarnya
Masih ada banyak. ) Jawab Reo, Reo membenarkan kacamata miliknya yang turun ke
bawah.
“ Jelaskeun ngeunaan Baduy.. “ ( Jelaskan tentang Suku Baduy. )
Ucap Ltya memberikan pertanyaan ke-3.
“ Suku Baduy mangrupikeun masarakat adat sub-étnis tina suku Sunda di
pedalaman Kabupatén Lebak, Propinsi Banten. Aranjeunna salah sahiji grup anu
nutupan dirina tina dunya luar. “ ( suku Baduy merupakan masyarakat adat
sub-etnis dari suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Mereka merupakan salah satu kelompok yang menutupi diri mereka dari dunia luar.
) Ujar Reo menjawab pertanyaan dengan lancar, karena ia selalu membaca buku. Sedangkan
Naki masih tertidur pulas, dengkurannya pun terdengar membuat Reo dan Ltya
tertawa melihat Naki tidur tanpa tahu tempat.
“ Sebutkeun julukan Pulo Bali? “ ( Sebutkan julukan pulau Bali? )
Tanya Ltya melanjutkan pertanyaan yang sempat tertunda, karena mendengar suara
dengkuran Naki. Reo yang mendengarkan pertanyaan dengan sesama, Reo berhenti
sejenak memikirkan jawaban untuk pertanyaan ke-4. Waktu terus berjalan membuat
Reo berpikir dengan keras.
“ Waktu tersisa hanya 1
menit lagi. “ ucap Ltya menunjukkan stop watch yang berada ditangannya. Reo
menatap pantai dari kejauhan dan beberapa potong ingatan muncul di kepalanya.
“ Conto
landihan pikeun pulau Bali nyaéta candi-candi pulau, énjing dunya, surga
pamungkas di bumi, sareng salah sahiji diantarana nyaéta pulau dewata. “ ( contoh
julukan Pulau Bali yaitu the of The Island temples, The Morning of the world,
the last Paradise on earth, dan salah satunya adalah
pulau dewata. ) ujar Reo, Reo bersyukur karena dulu ia pernah diberitahu oleh
saudaranya tentang julukan Pulau
Bali.
“ Patarosan anu terakhir nyaéta Sebutkeun
candi-candi di Indonésia? “ ucap Ltya. Reo mengernyitkan alisnya bingung.
“ Uaha
henteu cocog sareng anu aya dina buku? “
Tanya Reo, Alisnya saling bertautan heran.
“ Naha teu salah sahiji candi anu kalebet kana
kaajaiban dunya, sabab éta kadang candi mangrupikeun bagian tina sajarah bangsa
Indonésia. “ ( bukankah ada salah satu Candi yang masuk keajaiban dunia,
karena itu walaupun kadang candi termasuk sejarah bangsa Indonesia. ) Jelas
Ltya, Reo mengangguk paham dengan penjelasan yang diberikan oleh Ltya.
“ Hoam,
hm.. ah ternyata misinya udah mulai dari tadi toh. Mereka ngomong apaan sih. “ Ucap
Naki dalam hati, ia baru saja bangun dari tidurnya. Menatap kosong kedua orang
yang sedang berbicara dalam bahasa Sunda. Reo tidak menyadari kalau Naki telah bangun
sedangkan Ltya menyadarinya.
“ Nya, candi-candi di Indonésia kaasup Candi Prambanan, Candi
Borobudur, Candi Mendut, sareng Candi Muara Takus, éta mangrupikeun
hal-hal anu kuring émut. “ Jawab Reo bahagia karena berhasil menyelesaikan
misinya. Senyuman manis tercetak jelas dibibirnya. Ltya tersenyum melambaikan
tangannya kearah Reo dan Naki.
“ Senang
bertemu kalian. Misi kalian berhasil. “ Ucap Ltya yang perlahan-lahan
menghilang bagaikan partikel, Naki dan Reo terkejut melihat hal seperti itu
antara percaya dan tidak percaya. Buku yang berada di hadapan mereka berdua
bersinar, Naki langsung mengambil dan membuka buku tersebut. Sekali lagi Reo
terkejut melihat Naki yang sudah bangun dari tidurnya.
Mereka berdua mulai menerjemahkan isi buku tersebut dan Reo yang
membacakan, “ Your
mission is successful, only one more mission you have to do is to thwart
poaching. “
“ Misi
kalian berhasil, tinggal satu misi lagi yang harus kalian lakukan yaitu
menggagalkan pemburuan liar. “ ucap Naki yang selesai menyelesaikan
terjemahannya. Sama seperti sebelumnya cahaya putih menutupi penglihatan mereka,
dan sekarang mereka berada di hutan.
“ Sekarang
kita ada di hutan,
ayo kita selesaikan misinya. “ Ajak Naki seraya menarik Reo yang masih terduduk
di tanah. Reo berdiri mengikuti langkah Naki yang bersemangat.
Dor!
Suara tembakan terdengar jelas, mereka berdua mengaguk dan berlari
kearah sumber suara, melihat beberapa pemburu yang memburu beberapa hewan
langka. Mereka berdua bersembunyi di balik pohon yang tidak jauh dari pemburu
itu berada.
“ Naki kau alihkan perhatian para pemburu itu dan aku akan menelepon
polisi. Kau tidak apa-apakan. “ ujar Reo memberi arahan kepada Naki, mengacungkan jempol dan memberikan handphonenya.
Naki berlari menendang pemburu tersebut hingga terdorong beberapa meter. Reo segera
berlari mencari tempat persembunyian yang pas, dan menelepon polisi segera.
“ Siapa
itu? “ ucap salah seorang pria paruh baya yang memegang senapan angin. Beberapa
diantar mereka melancarkan serangan tapi berhasil dihindari oleh Naki.
Drap... Drap... Srek...
Dor!
Salah satu peluru hampir mengenai Naki, untung saja peluru tersebut
meleset dan hanya membuat luka gores lengan. Beberapa menit lalu Naki terus
menghindari peluru yang terus-menerus hampir mengenainya. Terlihat beberapa
luka ditubuh Naki yang berusaha menghindar dari tembakan tersebut.
“ Di mana
Reo, apakah dia sudah menelepon
polisi tapi kok belum datang-datang juga. Sekarang yang penting aku berusaha
dulu. “ Ucap Naki dalam hati.
Srek..
Dor!
Suara tembakan lain terdengar, mereka menoleh ke arah suara tembakan
tersebut berada. Tenyata para polisi dan Reo dari arah berbeda. Naki
menghembuskan nafas lega. Para pemburu ditangkap kepolisian.
“ maaf ya datang lama. “ Ucap Reo mengulurkan tangannya sembari
tersenyum hangat, Naki membalas uluran tangan tersebut dan membalas senyuman
hangat milik Reo.
“ Yeay! “ teriak mereka sambil bertos ria. Buku yang dibawa Reo
bersinar, Reo membuka buku tersebut.
“ mission completed “ ucap mereka berdua, cahaya putih menutupi
mereka berdua. Kini mereka sudah berada di perpustakaan tempat awal dimulainya
petualangan. Naki bangkit dari tempat duduknya dan mengembalikan buku itu
berada.
Senin, 01 Januari 2024
Cerpen: Seruan dari Balik Layar
Seruan dari Balik Layar
Nasywa Azzahra Q.A.
Ditemani
laptop yang masih menyala, seorang gadis yang tampak duduk di bangku belajarnya
yang menghadap sebuah jendela besar mengantukkan kepalanya dengan cukup keras ke
meja. Tangannya bergerak mengacak surai hitam panjang miliknya hingga
berantakan. Sesekali mulutnya mengeluarkan desis umpatan, gadis itu merasa
kesal.
Menyentakkan
kepalanya, gadis berparas rupawan itu dengan kasar membuka jendela di
hadapannya, membiarkan hembus angin bertamu, menerpa wajah ayunya.
“Kenapa
kalian tidak pernah mengerti?!” pekiknya dengan kencang ke arah luar, meski dia
tahu tidak ada yang akan mendengar maupun menjawab dirinya.
Tangan
sang gadis meraih tumpukan kertas lusuh berisi coretan tinta hasil tarian
bolpoin yang membebaskan imajinasi pikirannya. Merobek-robek lembarannya
menjadi potongan acak, membiarkan angin membawanya terbang menembus gelap
malam.
“Makan
tuh literasi! Aaakh, sial, sial!!”
Usai
mengeluarkan unek-uneknya, gadis itu menutup rapat-rapat jendela besar tersebut.
Ia lantas merebahkan tubuh ke atas ranjang empuk miliknya, menenggelamkan wajah
di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan teraliri gerimis dari kelopak
tertutup yang menyembunyikan manik cokelat indah sang gadis.
Keheningan
malam menemaninya, mendekap jiwa juga pikirannya yang merasa lelah, membawa
seutuhnya ke dalam bunga tidur yang melambai kepada dirinya, seolah menyambutnya.
Pukul
10 malam, Lili kembali berkutat dengan laptopnya setelah menyelesaikan seluruh
tugas online miliknya. Bandul cokelat miliknya menatap layar laptop
dengan sorot tajam. Jemari kedua tangannya bergerak dengan lihainya di antara
deretan keyboard, memberikan musik pengiring tambahan. Dengan menyalurkan
pula perasaan pada tulisannya, besar harapan bagi para pembacanya nanti akan
turut merasakannya. Senyum tak henti-hentinya terukir menghias rupa ayu miliknya.
Semakin
larut dalam tulisan, pikirannya semakin dipenuhi kabut imajinasi yang
menari-nari. Memaksa dirinya mengabaikan perasaan lelah yang terasa. Berusaha
keras ia ciptakan sebuah karya sastra yang akan dipersembahkan untuk para generasi
muda bangsa. Begitulah alasan Lili menulis. Ia hendak turut hadir dalam usaha
memperbaiki kualitas literasi bangsa ini.
Usai
menekan tombol “Save Draft”, Lili menyandarkan tubuhnya ke punggung
bangku yang beralaskan bantal berukuran kecil. Manik matanya bergulir mengikuti
deretan huruf yang menyusun rangkaian paragraf yang murni hasil pemikiran dan
kerja kerasnya dengan puas dan bangga. Lili meraih secangkir cokelat panas yang
mulai mendingin di sebelahnya. Diseruputnya likuid kental di dalamnya yang membuat
tubuhnya terasa lebih rileks.
“Bab
ini berhasil kuselesaikan. Aku… hampir berhasil,” gumamnya lirih. Bibir
mungilnya membentuk kurva yang kian melebar, mengeluarkan tawa kecil.
Telinganya
lantas menangkap bunyi getar dari ponsel miliknya yang tergeletak di meja,
membuat fokusnya teralihkan. Lili meraih kacamata untuk ditenggerkan pada
batang hidungnya, sebelum akhirnya meraih ponsel tersebut.
“Ah,
notifikasi tugas baru,” dengusnya. Lili melempar ponsel miliknya ke arah
ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi.
Tak
berselang lama, ia kembali dengan wajah yang lebih segar. Lili berlari kecil
menuju ruang makan, mencomot sebuah roti selai kacang yang disediakan,
memakannya dengan tenang.
“Lili,
selamat pagi!" sapa wanita paruh baya di seberangnya. Wanita itu adalah
ibunya.
Baru
hendak membuka buku, gadis muda itu dikejutkan oleh suara ponselnya yang kembali
bergetar. Lili menekan pop up pesan masuk tersebut. Keningnya mengernyit
membaca pesan yang terpampang di depan matanya.
<Rara>
“P, ada yang punya e-book Kak Asma ga di sini?”
<Aurel>
“Aku ada, yang mau japri yaa!”
Hah? Menyebarkan e-book?
Bodoh sekali, pikir Lili. Jarinya menari di layar ponselnya, mengetikkan
sesuatu dengan cepat.
<Lili>
“Maaf, teman-teman, tapi.. menyebarluaskan e-book? Bukankah termasuk
pembajakan?”
<Rara>
“Yah, mau gimana lagi? Guru kita kasih tugas literasi hari ini.”
<Aurel>
“2-in sih. Lagian, Li, gaada salahnya kan berbagi ilmu?”
<Rara>
“Yups, benerr! Emang apa masalahnya?”
Alis
Lili menukik, geram dengan tingkah kedua kawannya. Memang, selama pandemi ini,
guru di sekolah Lili menggalakkan program literasi secara besar-besaran. Bagi
mereka dengan ekonomi sedang ke bawah yang tidak memiliki buku, dipersilakan
untuk meminjam dari perpustakaan sekolah.
Tetapi,
beberapa dari mereka --bahkan yang berada di tingkat ekonomi atas-- lebih
memilih untuk membaca e-book. Tidak ada yang salah dengan hal itu jika
mereka membeli e-book tersebut, atau setidaknya membacanya dari aplikasi
bebas bayaran yang resmi. Namun kenyataannya, teman-teman Lili justru membaca e-book
yang berasal dari broadcast teman lain. Bahkan, dengan bangga mereka turut
serta menyebarkannya. Padahal jelas-jelas yang mereka lakukan itu salah, sebuah
pembajakan.
Bagi
mereka, mungkin itu hal yang biasa. Setiap kali diberi tahu, dengan keras
kepalanya mereka pasti menjawab, “Lagian kan, gaada bedanya”, juga argumen
lainnya. Tetapi, bagi Lili yang notabenenya seorang penulis, meski masih amatir,
itu suatu hal yang amat penting.
Tak
sadar saja mereka ini secara perlahan-lahan mulai mengambil, bahkan mungkin
menghilangkan pendapatan para penulis buku juga semangat mereka untuk menulis. Lebih
buruknya lagi, mereka tidak mengerti bahwasanya kini, pembajakan online seperti
itu juga telah dikecam sebagai tindak pidana.
Lili
bergidik, tersenyum miris. Benar-benar babil, pikirnya.
<Lili> “Haha, tapi sungguh, kenapa kalian tidak
mengunduh aplikasi e-book resmi saja?”
<Aurel> “Ga ah, Li. Lebih simpel begini. Buat
apa download aplikasi segala, ribet, menuhin penyimpanan juga.”
<Rara>
“Yak, setuju sama Aurel!”
Oh ayolaah, kalian ini siswa,
berpendidikan. Tidakkah kalian merasa malu memperoleh ilmu dari buku hasil
bajakan, hasil curian?
<Lili> “Teman-teman, para penulis itu melakukan
kerja keras untuk menghasilkan satu karya saja. Setidaknya hargai mereka dengan
tidak merampas hak mereka!”
<Rara> “Hak apa sih, Li? Kita sebagai pembaca
juga berperan penting buat mereka, kan?”
Buka matamu, anak muda.
Kau gadis terpelajar, bukan?
<Lili> “Begini, dengan membaca buku bajakan yang
notabenenya tidak resmi, para penulis tidak mendapat upah dan hak mereka. Selain
itu, program literasi ini bisa berjalan karena adanya mereka yang menyediakan
bahan bacaan untuk kita. Sudah seharusnya kita bijak dalam memilihnya, Ra, Rel!”
<Aurel> “Ya udah sih, ga usah marah-marah juga.
Lagi pula, aku dapet itu dari murid kelas sebelah, kok. Aku juga kan niatnya
cuma bantu distribusi ilmu.”
<Rara> “Mungkin Lili lagi PMS, Rel. Jadi
sensitif banget gitu. Udah lah ga usah dibahas lagi! Kalaupun itu bener
pembajakan, kita bukan satu-satunya pelaku.”
<Lili> “Mulai dari kita dulu, Ra. Setidaknya
jika kita berhenti membaca buku bajakan, itu akan mengurangi kerugian para
penulis, ah dan juga, ilmunya lebih berkah! Tapi.. yah, ini terserah kalian sih
:)”
Distribusi ilmu?
Membagikan ilmu? Ah, aku tau, mungkin maksudmu meracuni otakmu dengan ilmu
curian, batin Lili sarkastik.
• • •
Malam
harinya, seperti biasa, Lili bersiap melanjutkan novelnya yang kini hanya tersisa
dua bab sebelum mencapai epilog. Dengan riang, ia tumpahkan segala emosi dan
imajinasinya, mengurainya ke dalam potongan kata yang membentuk deret panjang
kalimat, menyusunnya menjadi satu-dua paragraf. Bibirnya sedikit terbuka,
menggumamkan bait lagu yang berputar-putar di ingatannya.
Lili
melirik kearah ponselnya, berpikir mengambil jeda istirahat sejenak. Lili
memeriksa aplikasi berkirim pesan miliknya, hendak melihat apa yang teman-temannya
bicarakan beberapa waktu lalu. Jarinya mengetuk ruang percakapan.
Sedetik
kemudian, senyumannya luntur. Lili melemparkan ponselnya ke ranjang. Cepat-cepat
dirinya berbalik, menatap layar laptopnya. Jemari lentik Lili sudah bersiap di
atas keyboard, tapi aneh, mereka tidak mau bergerak, terasa kaku. Lili
memejamkan matanya, mencoba mencari keberadaan imajinasi yang biasanya
menari-nari. Kelopak mata Lili terpejam lebih rapat, menelusuri jengkal demi
jengkal pikirannya, mencari jejak mereka.
Nihil.
Mereka seakan menghilang begitu saja. Yang Lili temukan justru ingatan
bagaimana teman-temannya dengan bangga terus menyebarluaskan e-book
bajakan ilegal. Termasuk buku keduanya. Buku yang ia tulis dengan kesungguhan
dan kerja keras.
Detik
itu, Lili merasa tidak dihargai. Sangat.
Lili
membuka kembali matanya, memperlihatkan manik cokelat yang tampak meredup. Semangatnya
memudar. Dadanya terasa sesak. Deru nafas Lili semakin cepat, seolah-olah
kandungan oksigen di sekitarnya menipis. Mata Lili memanas, membuatnya
menggigit bibir merah mudanya kuat-kuat. Tidak ia izinkan awan mendung di pelupuk
matanya menurunkan hujan. Sudut bibirnya yang menurun dipaksanya membentuk
kurva lengkung ke atas. Tetapi sayangnya, pelangi tak akan terbentuk tanpa
hujan.
“Ayo
berpikir, Lili, berpikir!” pekiknya. “Ah, benar! A-aku butuh kertas!” Lili menyambar
selembar kertas kosong dan sebuah pensil.
Tangannya
mulai berhasil menulis beberapa kata—atau mungkin tidak, Lili kembali
mencoretnya. Menulis lagi, mencoretnya lagi. Kini, kertas kosong tersebut dipenuhi
rentetan kata yang tercoret. Genggaman Lili pada pensil semakin mengerat hingga
memperlihatkan buku-bukunya yang memutih.
“Kau
bisa! Ayolah!” Lili menggertakkan giginya. Tangannya kembali menyambar kertas,
lagi, lagi dan lagi. Berkali-kali Lili mencoba, semua lembaran putih itu
berakhir sama, seperti lembar pertama.
Ia
kantukkan kepalanya dengan keras ke meja kayu miliknya. Tangannya bergerak
menjambak surai hitamnya yang indah dengan begitu kasar. Tak lama, Lili
mendongakkan kepalanya, dengan kasar menyibakkan jendela besar di hadapannya. Ia
biarkan semilir angin dan cahaya bulan yang biasa menemaninya bertamu kembali.
“Kenapa
kalian tidak pernah mengerti?!” serunya tertahan.
Lili
meraih tumpukan kertas di sebelahnya, merobeknya menjadi potongan-potongan
abstrak yang kini beterbangan dibawa pergi sang angin malam.
“Makan
tuh literasi! Aaaakh sialaan!!”
Seandainya
bisa, Lili ingin menemui satu per satu kawannya. Memperlihatkan kepada mereka
wajah menyedihkan miliknya. Berteriak pada mereka, menanyakan keberadaan nurani
dan akal mereka.
Mereka
berpendidikan, mereka mampu, mereka mengerti. Lili tahu itu. Mereka hanya
menutup mata dan telinga mereka dari realita. Menembakkan peluru-peluru argumen
yang sama setiap kali ditegur dan diberi masukan.
Literasi
digital memang sebuah program yang ditujukan untuk mencerdaskan, tapi kalau
bukunya hasil bajakan, bukan lagi cerdas namanya. Sebelum mencerdaskan bangsa
dengan literasi, cobalah cerdas dalam memilih literaturnya. Tidak lucu jadinya
apabila nanti para penulis berakhir atau mungkin mengakhiri karir hanya karena pembaca
yang keras kepala.
Lili
menutup kembali jendela kamarnya. Usai mematikan laptopnya, gadis itu melompat ke
ranjangnya, menenggelamkan wajah di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan
teraliri gerimis dari awan di mata indahnya yang kini telah bertambah mendung.
Malam
memeluknya, dengan perlahan menuntunnya menuju bunga tidur yang merentangkan
tangan di hadapannya, bersiap menyambut jiwa letihnya.
Yah,
bagiamanapun, mereka semua sudah terlampau babil.