Halaman

Kamis, 04 Januari 2024

Cerpen: The Mystery of Book

 

The Mystery of Book

Akrimah Khairunnisa

Kriiiinnnggg!!!

 Bunyi alarm memenuhi seluruh ruangan kamar. Naki yang tengah terlelap di atas ranjangnya itu terganggu. Alisnya mengernyit mendengar suara alarm. Perlahan-lahan matanya mulai terbuka, cahaya menembus melewati celah-celah jendela kamar tidur miliknya. Tangannya tergerak mematikan alarm, tubuhnya perlahan-lahan terduduk walaupun masih enggan untuk beranjak dari ranjang. Pandangannya kabur, ia mengucek matanya. Perlahan pandangannya mulai terlihat jelas.

Naki segera berdiri dan merapikan ranjang miliknya yang berantakan. Naki kemudian meraih handuknya yang tergantung di gagang pintu kamar mandi kamarnya. Langkahnya membawa Naki  menuju kamar mandi. Membuka pintu, memasuki kamar mandi, dan mulai membersihkan diri. Beberapa menit berlalu, Naki keluar dari sana seraya mengusap-usap rambutnya yang masih basah terkena air. Kakinya melangkah keluar dari kamar mandi. Naki bergegas menuju dapur menyantap makanan yang sudah dibuatkan ibunya.

 Kini Naki sudah berada di sekolah, Naki berlari melewati koridor sekolah. Tanpa disadari, Naki menabrak seseorang yang berada di hadapannya, ‘ Bruk ‘ buku-buku yang  dibawa oleh seseorang yang berada di hadapan Naki jatuh berserakan kemana-mana. “Huh, sakitnya.. “ Ringis Naki kesakitan, Naki menoleh ke arah orang yang sudah ia tabrak. Naki menatapnya seraya  membaca name tage yang berada di bajunya. “ Reo... “ Gumamnya hampir tidak bisa didengar siapa pun. Koridor tempat Naki berada sepi tidak ada siapa pun berada kecuali mereka berdua.

“ Ah maaf aku tadi menabrakmu, nih kacamata punyamu,  ucap Naki menyerahkan kacamata milik Reo, Reo mengambil kacamata miliknya dan mulai memakainya. “ Ah enggak apa-apa, aku juga minta maaf. “ ujar Reo tersenyum hangat ke arah Naki.  Naki membalas senyuman Reo. “ Namaku Naki dari kelas sepuluh B. Ujar Naki memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya, Reo membalas uluran tangan Naki. “ Perkenalkan namaku Reo dari kelas sepuluh A, salam kenal. “ ujar Reo ikut memperkenalkan dirinya juga. Mereka melepaskan uluran tangan mereka, Reo mulai mengumpulkan buku-buku yang berserakan ke mana-mana. Naki yang sempat diam sesaat mulai ikut membantu mengambil buku-buku yang berada di lantai.

 Beberapa menit kemudian mereka berdua selesai mengambil buku yang berserakan di lantai. “ Aku bantu ya, soalnya kamu kayaknya keberatan bawa Bukunya. Emangnya bukunya mau kamu bawa ke mana? “ Tanya Naki sambil menawarkan bantuan kepada Reo. Reo mengangguk mengiyakan, “ Ah boleh terima kasih, mau dibawa ke perpustakaan. “ Jelas Reo mengangkat sebagian tumpukan dan sebagai lagi diangkat oleh Naki. Mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan bersama, hingga bel masuk berbunyi.

    

***

 

     Istirahat tiba, Naki berlari menuju koridor tempat ia tertabrak tadi pagi. “ Akh, di mana hand phoneku tadi, ucap Naki sambil mengacak-acak rambutnya. Naki mulai menyusuri koridor yang mulai sepi.  Beberapa murid berjalan di koridor tersebut, tetapi saat ia tanyakan mereka menggeleng kepala tidak tahu. Naki baru sadar jika handphone miliknya menghilang saat ia ingin mencari sesuatu di handphonenya.

     Saat hendak ingin mencarinya, suara familier memasuki indra pendengaran Naki. Menarik atensi Naki yang tengah mencari handphone miliknya, “ Naki!! “ Teriak Reo menggema di sepanjang koridor. Naki melambaikan tangan kanannya ke arah Reo seketika Naki berlari kecil kearah Reo. “ Huh, ah maaf aku cuman mau mengembalikan handphone punyamu. Nih, maaf ya baru ngasih sekarang soalnya tadi aku lupa,  maaf ya... “ Ujar Reo seraya mengelap keringat yang keluar dan  menyerahkan handphone milik Naki.

Kau  suka buku apa Naki? “ Tanya Reo kepada Naki, yang sekarang pandangannya tertuju pada handphone miliknya. “ Ah komik mungkin, tapi jarang, kalu novel aku udah keburu mengantuk. Ya paling cuman buku pelajaran. “ Jawab Naki tanpa menoleh sedikit pun ke arah Reo. Reo  mengaguk paham.

“ Mau kutunjukkan keseruan membaca novel ? Kan novel itu enggak ada gambarnya tapi beberapa ada cuman sedikit sih mau enggak? “ tawar Reo dengan semangat menunggu jawaban dari Naki. “ Oh... boleh, lagi pula aku juga enggak ada kegiatan.“ Jawab Naki mengangguk setuju seraya memasukkan hand phonenya ke dalam saku celana.

Mereka berjalan menuju perpustakaan. Siswa-siswa  di lapangan sekolah tampak  berkumpul dan berolah raga. Beberapa  siswa di depan kelas tengah  mengobrol dan menyantap makan, entah yang mereka beli atau pun yang mereka bawa dari rumah. “ Kenapa kamu kalau baca novel keburu mengantuk? “ Tanya Reo mengernyit alisnya heran, menurutnya setidaknya ada novel yang Naki suka tapi sepertinya tidak ada. “ Ah mungkin itu penyakitku, kadang buku pelajaran aku juga begitu. Bukannya seperti itu normal saja, kan? “ Ujar Naki terkekeh kecil tanpa merasa bersalah.

     “ Eh emangnya kayak gitu normal ya? “ Tanya Reo menoleh dan menatap tajam  ke arah Naki. Naki yang ditatap seperti itu gelagapan. Ia bingung untuk berbicara mencoba memikirkan jawaban yang tepat. “ Itu gimana ya jelasinnya susah.. Itu mungkin juga enggak baik juga sih malas membaca karena kalau malas membaca wawasan jadi kurang, tapi gimana ya mataku enggak bisa bekerja sama. “ ucap Naki  mengikuti apa yang terbesit di kepalanya. Reo hanya mengangguk-angguk mengiyakan.

     “ Emang beda ya kutu buku. “ Ucap Naki dalam hati. Sesampainya di perpustakaan, Naki duduk di kursi menunggu Reo. Reo sedang meminjam buku yang akan  ia rekomendasikan kepada Naki.

Delapan  menit kemudian...

“ Ah maaf menunggu lama Naki... “ Ucap Reo menepuk pundak Naki, membuat Naki terkejut tetapi bertagan  untuk ia tidak berteriak. Bisa-bisa ia dimarahi oleh petugas perpustakaan. Reo tertawa kecil sembari menggaruk tengkuknya yang sepertinya tidak gatal.

“ Nah baca ini judulnya Sherlock Holmes, mungkin kamu suka. Soalnya ini bercerita tentang detektif. “ Ujar Reo menjelaskan buku yang ia sodorkan kepada Naki, Naki hanya mengangguk dan mulai membaca begitu juga dengan Reo. Ia juga ikut membaca buku pilihannya, tanpa sadar bel berbunyi tanda sudah saatnya memasuki kelas untuk melanjutkan pelajaran.

“ Ah, sudah bel. Padahal lagi di bagian yang seru dasar bel enggak guna, “gerutu Naki sambil mengacak-acak rambut  melampiaskan kekesalannya. “Kamu kan tinggal membuat kartu anggota perpustakaan, terus kamu bisa bawa pulang. Tentu saja    ada batas waktunya.  Kalau kamu terlambat  balikin,  nanti bisa kena denda. “ Jelas Reo sambil membereskan buku yang ingin ia pinjam. Naki yang mendengar penjelasan tersebut langsung menuju meja petugas perpustakaan tanpa memedulikan teman barunya.  Reo menoleh ke arah Naki berniat untuk mengajak naki. Ia Mencari sosok Naki tiba-tiba menghilang.

  “ Bingo, nah itu dia. “ Ucap Reo, ia berlari kecil menghampiri Naki. Sesampainya di depan meja petugas perpustakaan, mereka menuliskan buku yang ingin mereka pinjam. Sebelum berpisah menuju kelas masing-masing,  mereka bertukar nomor telepon satu sama lain.

 Beberapa minggu terakhir,  Naki sering sekali datang ke perpustakaan untuk meminjam buku. Buku  Sherlock Holmes sudah ia baca semua. Kini ia berniat meminjam buku baru. Ia menyusuri seluruh rak buku perpustakaan sekolahnya. Naki mengambil salah satu buku yang menurutnya menarik. Ia memperhatikan sampul dan membaca sinopsis yang berada di belakang. `“ Mystery of book. “ Gumam Naki, ia membawa langkahnya menuju tempat baca yang sudah disediakan.

“ Naki apa yang kau baca? “ Tanya Reo penasaran.

     “ Mystery of Book. “ jawab Naki seraya membuka buku, Naki mulai membaca buku tersebut dengan saksama. Hingga beberapa saat kemudian, “ eh bahasa Inggris dan lagi kenapa cuman satu halaman eh kayaknya enggak sampai satu halaman. Kok bisa? “ tanya Naki, ia membalik halaman berikutnya ternyata halaman-halaman berikutnya kosong.

     “ Kosong maksudnya gimana? “ tanya Reo penasaran dengan buku yang dibaca oleh Naki yang sepertinya membuat Naki darah tinggi.  

     Ini loh coba lihat! “ ujar Naki seraya memberikan buku tersebut kepada Reo dengan wajah kesal.

     Hm. “ deheman Reo. Reo mulai membaca buku yang diberikan oleh Naki. Tak lama kemudian, “ eh, iya, ya. Setelah kucek ternyata bener. Gimana kalau kita terjemahin? “ Tanya Reo, Naki segera mengambil Handphone miliknya yang berada diatas meja. Membuka Google translate.

     Sini Reo biar kuterjemahin. “ Ucap Naki bersiap menerjemahkan isi buku tersebut, Reo  mendekatkan dirinya pada Naki. Ia mulai mengetik tulisan yang berada di buku tersebut sedangkan Reo membaca tulisan tersebut.

      “ Indonesian culture, customs, language and natural conditions are attractive to the world.  you can see the beauty with your own eyes by playing the game... enjoy the game. “

    Selesai! “ Ucap Naki dengan sedikit meninggikan nada bicaranya.

    Apa artinya? “ Tanya Reo dengan semangat.

     “ Artinya... Budaya, Adat, Bahasa, dan kondisi alam Indonesia menjadi daya tarik bagi dunia. Kalian bisa melihat keindahan tersebut dengan mata kepala kalian sendiri dengan melakukan permainan... selamat menikmati permainan. “ ucap Naki tanpa disadari kerutan muncul di dahinya, menandakan  ia bingung.

     Apa maksud- “ belum selesai Reo berbicara tiba-tiba cahaya putih muncul begitu saja entah dari mana asalnya.

 

Beberapa menit kemudian...

 

     Perlahan-lahan cahaya tersebut menghilang. Reo menatap sekitar, “ buram. “ ia mengenakan kacamata dan mulai menyesuaikan cahaya yang mulai masuk melewati kaca mata miliknya. Naki yang dari tadi menghalau masuknya cahaya dari matanya, juga menyesuaikan cahaya yang masuk ke kornea matanya. Mereka berdua terkejut saat menyadari hal tersebut membuat mulut mereka terbuka lebar.

     Wih gila ini di mana? Kok tiba-tiba kita ada di sini, apa lagi itu kan gunung Krakatau kan, enggak mungkin kita bisa sampai sini. “ ucap Naki tak percaya, Naki menepuk-nepuk pipinya dengan keras untuk memastikan apakah  ini nyata atau tidak.

     Ini nyata Ki, sakit kan? Yang pasti ini nyata. “ ujar Reo menahan kedua tangan milik Naki agar si empu tidak menyakiti dirinya sendiri.

      Cahaya biru muncul dari buku yang berada di dekat Reo membuat mereka terkejut. Reo yang berada dekat dengan buku tersebut terpaksa mengambilnya. Sekarang buku tersebut telah berada di tangan Reo.  Terlihat di wajah mereka keraguan untuk membuka buku tersebut. Reo menutup matanya membuka halaman yang bercahaya, dan sekali lagi mampu membuat tidak bisa berkata-kata. Buku itu perlahan-lahan mulai memunculkan setiap kata demi kata. Hingga 1 menit kemudian...

     “ Reo kamu bacakan biar aku terjemahkan. “ ujar Naki memberi arahan, Reo mengangguk setuju dengan arahan Naki.

     The first mission for you is to have a conversation using Sundanese now that you are in Banten.  You will be given time to learn Sundanese for 30 minutes before the game starts.  someone will come to play with you.  have fun and good luck!!

     “ Selesai! Terjemahannya, misi pertama untuk kalian adalah dengan melakukan percakapan menggunakan bahasa Sunda sekarang kalian berada di Banten. kalian akan diberi waktu untuk mempelajari bahasa Sunda selama 30 menit sebelum permainan dimulai. akan datang seseorang yang akan bermain dengan kalian. selamat bersenang-senang dan semoga beruntung!! “ Ucap Naki membuat mereka berdua memandang satu sama lain, tiba-tiba Naki berteriak frustasi. Ia berguling-guling diatas Pasir pantai.

    “ Tenanglah aku bisa berbahasa Sunda kok. “ ujar Reo membuat Naki menghentikan kegiatan berguling-gulingnya.

     “ benarkan, lagi enggak bercanda kan? “ Tanya Naki memastikan.

     “ Benar kok jadi santai aja. Mungkin hehehe... “ jawab Reo, walaupun dibagian akhir ucapannya meragukan. Naki hanya pasrah, karena sejujurnya ia tidak tau permainan apa yang dimaksud dalam buku yang kini berada di hadapan mereka berdua.

30 menit kemudian...

     Naki dan Reo sekarang berada di bawah pohon rindang yang tidak jauh dari bibir pantai. Naki tertidur dengan pulasnya di bawah pohon, sedangkan Reo bermain dengan handphone milik Naki karena handphone miliknya berada di perpustakaan sekolah.

     “ Hai! “ sapa seseorang mengagetkan Reo yang sedang asyik-asyiknya bermain handphone. Tanpa disadari Reo melempar handphone milik Naki, untung saja handphonenya mendarat tepat ditangan Naki yang sedang tertidur terlentang begitu saja. Reo menoleh kearah sumber suara, Reo menatap Remaja seumurannya

     Siapa? “ Tanya Reo mengernyitkan alisnya.

     “ Kuring bakal naroskeun patarosan. “ ( aku yang akan memberikan pertanyaan. ) Ucapnya dalam bahasa Sunda.

     Oh ternyata, kenalkeun nami abdi Reo sareng ieu rerencangan abdi Naki anu nuju bobo.  “ ( oh ternyata, perkenalkan nama saya Reo dan ini temanku Naki yang sedang tidur. ) Ucap Reo memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan Naki karena sang empu sedang tertidur.

     Hayu urang mimitian patarosan munggaran. “ ( mari kita mulai saja pertanyaan pertama. ) Ajak orang tersebut.

     Ngan sakedap kuring hoyong naroskeun saha nami anjeun? “ ( Sebentar aku mau tanya namamu siapa? ) Tanya Reo.

     “ Nami abdi Ltya. “ ( Nama saya adalah Ltya. ) jawab Ltya tersenyum, Reo mengangguk dan membalas senyuman milik Ltya.

     Punten, hayu urang mimitian ku patarosan anu munggaran, nyaéta, Nami salah sahiji kasenian Cirebon?  Waktos waleran mung 2 menit ti ayeuna. “ ( Baiklah mari kita mulai saja pertanyaan pertama yaitu, Sebutkan salah satu kesenian Cirebon? Waktu menjawab hanya 2 menit dari sekarang. ) Ucap Ltya memulai pertanyaan. Reo yang mengerutkan keningnya mencoba memahami apa yang Ltya katakan.

     Ih, henteu kunanaon.  Salah sahiji kasenian Cirebon nyaéta jogét sintren sareng jogét topéng. “ ( Eh, baiklah. Salah satu kesenian Cirebon yaitu tari sintren dan tari topeng. ) Jawab Reo.

     “ Alesan pertanyaan nomer dua. Sebutkeun opat budaya Yogyakarta? “ ( Baiklah Pertanyaan nomor dua. Sebutkan empat kebudayaan Yogyakarta? ) Tanya Ltya, Ltya menatap Reo yang masih berpikir. Hingga beberapa saat kemudian,

     “ Budaya Yogyakarta, nyaéta wayang kulit, batik, karawitan, sekaten.  éta ngan sababaraha kuring nyebatkeun saleresna Masih seueur. “ ( kebudayaan Yogyakarta yaitu wayang kulit, batik, karawitan, sekaten. Itu hanya beberapa yang kusebutkan sebenarnya Masih ada banyak. ) Jawab Reo, Reo membenarkan kacamata miliknya yang turun ke bawah.  

     Jelaskeun ngeunaan Baduy.. “ ( Jelaskan tentang Suku Baduy. ) Ucap Ltya memberikan pertanyaan ke-3.

     Suku Baduy mangrupikeun masarakat adat sub-étnis tina suku Sunda di pedalaman Kabupatén Lebak, Propinsi Banten. Aranjeunna salah sahiji grup anu nutupan dirina tina dunya luar. “ ( suku Baduy merupakan masyarakat adat sub-etnis dari suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Mereka merupakan salah satu kelompok yang menutupi diri mereka dari dunia luar. ) Ujar Reo menjawab pertanyaan dengan lancar, karena ia selalu membaca buku. Sedangkan Naki masih tertidur pulas, dengkurannya pun terdengar membuat Reo dan Ltya tertawa melihat Naki tidur tanpa tahu tempat.

     “ Sebutkeun julukan Pulo Bali? “ ( Sebutkan julukan pulau Bali? ) Tanya Ltya melanjutkan pertanyaan yang sempat tertunda, karena mendengar suara dengkuran Naki. Reo yang mendengarkan pertanyaan dengan sesama, Reo berhenti sejenak memikirkan jawaban untuk pertanyaan ke-4. Waktu terus berjalan membuat Reo berpikir dengan keras.

      Waktu tersisa hanya 1 menit lagi. “ ucap Ltya menunjukkan stop watch yang berada ditangannya. Reo menatap pantai dari kejauhan dan beberapa potong ingatan muncul di kepalanya.

     Conto landihan pikeun pulau Bali nyaéta candi-candi pulau, énjing dunya, surga pamungkas di bumi, sareng salah sahiji diantarana nyaéta pulau dewata. “ ( contoh julukan Pulau Bali yaitu the of The Island temples, The Morning of the world, the last Paradise on earth, dan salah satunya adalah pulau dewata. ) ujar Reo, Reo bersyukur karena dulu ia pernah diberitahu oleh saudaranya tentang julukan Pulau Bali.

     “ Patarosan anu terakhir nyaéta Sebutkeun candi-candi di Indonésia? “ ucap Ltya. Reo mengernyitkan alisnya bingung.

     Uaha henteu cocog sareng anu aya dina buku? “ Tanya Reo, Alisnya saling bertautan heran.

    “ Naha teu salah sahiji candi anu kalebet kana kaajaiban dunya, sabab éta kadang candi mangrupikeun bagian tina sajarah bangsa Indonésia. “ ( bukankah ada salah satu Candi yang masuk keajaiban dunia, karena itu walaupun kadang candi termasuk sejarah bangsa Indonesia. ) Jelas Ltya, Reo mengangguk paham dengan penjelasan yang diberikan oleh Ltya.

      Hoam, hm.. ah ternyata misinya udah mulai dari tadi toh. Mereka ngomong apaan sih. “ Ucap Naki dalam hati, ia baru saja bangun dari tidurnya. Menatap kosong kedua orang yang sedang berbicara dalam bahasa Sunda. Reo tidak menyadari kalau Naki telah bangun sedangkan Ltya menyadarinya.

     “ Nya, candi-candi di Indonésia kaasup Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Mendut, sareng Candi Muara Takus, éta mangrupikeun hal-hal anu kuring émut. “ Jawab Reo bahagia karena berhasil menyelesaikan misinya. Senyuman manis tercetak jelas dibibirnya. Ltya tersenyum melambaikan tangannya kearah Reo dan Naki.

     Senang bertemu kalian. Misi kalian berhasil. “ Ucap Ltya yang perlahan-lahan menghilang bagaikan partikel, Naki dan Reo terkejut melihat hal seperti itu antara percaya dan tidak percaya. Buku yang berada di hadapan mereka berdua bersinar, Naki langsung mengambil dan membuka buku tersebut. Sekali lagi Reo terkejut melihat Naki yang sudah bangun dari tidurnya.

     Mereka berdua mulai menerjemahkan isi buku tersebut dan Reo yang membacakan, Your mission is successful, only one more mission you have to do is to thwart poaching. “

     Misi kalian berhasil, tinggal satu misi lagi yang harus kalian lakukan yaitu menggagalkan pemburuan liar. “ ucap Naki yang selesai menyelesaikan terjemahannya. Sama seperti sebelumnya cahaya putih menutupi penglihatan mereka, dan sekarang mereka berada di hutan.

     Sekarang kita ada di hutan, ayo kita selesaikan misinya. “ Ajak Naki seraya menarik Reo yang masih terduduk di tanah. Reo berdiri mengikuti langkah Naki yang bersemangat.

 Dor!

     Suara tembakan terdengar jelas, mereka berdua mengaguk dan berlari kearah sumber suara, melihat beberapa pemburu yang memburu beberapa hewan langka. Mereka berdua bersembunyi di balik pohon yang tidak jauh dari pemburu itu berada.

     “ Naki kau alihkan perhatian para pemburu itu dan aku akan menelepon polisi. Kau tidak apa-apakan. “ ujar Reo memberi arahan kepada Naki,  mengacungkan jempol dan memberikan handphonenya. Naki berlari menendang pemburu tersebut hingga terdorong beberapa meter. Reo segera berlari mencari tempat persembunyian yang pas, dan menelepon polisi segera.

     Siapa itu? “ ucap salah seorang pria paruh baya yang memegang senapan angin. Beberapa diantar mereka melancarkan serangan tapi berhasil dihindari oleh Naki.

Drap... Drap... Srek...

Dor!

     Salah satu peluru hampir mengenai Naki, untung saja peluru tersebut meleset dan hanya membuat luka gores lengan. Beberapa menit lalu Naki terus menghindari peluru yang terus-menerus hampir mengenainya. Terlihat beberapa luka ditubuh Naki yang berusaha menghindar dari tembakan tersebut.

     “ Di mana Reo, apakah dia sudah menelepon polisi tapi kok belum datang-datang juga. Sekarang yang penting aku berusaha dulu. “ Ucap Naki dalam hati.

Srek..

Dor!

     Suara tembakan lain terdengar, mereka menoleh ke arah suara tembakan tersebut berada. Tenyata para polisi dan Reo dari arah berbeda. Naki menghembuskan nafas lega. Para pemburu ditangkap kepolisian.

     “ maaf ya datang lama. “ Ucap Reo mengulurkan tangannya sembari tersenyum hangat, Naki membalas uluran tangan tersebut dan membalas senyuman hangat milik Reo.

     “ Yeay! “ teriak mereka sambil bertos ria. Buku yang dibawa Reo bersinar, Reo membuka buku tersebut.

     mission completed “ ucap mereka berdua, cahaya putih menutupi mereka berdua. Kini mereka sudah berada di perpustakaan tempat awal dimulainya petualangan. Naki bangkit dari tempat duduknya dan mengembalikan buku itu berada.

Senin, 01 Januari 2024

Cerpen: Seruan dari Balik Layar

 

Seruan dari Balik Layar

Nasywa Azzahra Q.A.

Ditemani laptop yang masih menyala, seorang gadis yang tampak duduk di bangku belajarnya yang menghadap sebuah jendela besar mengantukkan kepalanya dengan cukup keras ke meja. Tangannya bergerak mengacak surai hitam panjang miliknya hingga berantakan. Sesekali mulutnya mengeluarkan desis umpatan, gadis itu merasa kesal.

Menyentakkan kepalanya, gadis berparas rupawan itu dengan kasar membuka jendela di hadapannya, membiarkan hembus angin bertamu, menerpa wajah ayunya.

“Kenapa kalian tidak pernah mengerti?!” pekiknya dengan kencang ke arah luar, meski dia tahu tidak ada yang akan mendengar maupun menjawab dirinya.

Tangan sang gadis meraih tumpukan kertas lusuh berisi coretan tinta hasil tarian bolpoin yang membebaskan imajinasi pikirannya. Merobek-robek lembarannya menjadi potongan acak, membiarkan angin membawanya terbang menembus gelap malam.

“Makan tuh literasi! Aaakh, sial, sial!!”

Usai mengeluarkan unek-uneknya, gadis itu menutup rapat-rapat jendela besar tersebut. Ia lantas merebahkan tubuh ke atas ranjang empuk miliknya, menenggelamkan wajah di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan teraliri gerimis dari kelopak tertutup yang menyembunyikan manik cokelat indah sang gadis.

Keheningan malam menemaninya, mendekap jiwa juga pikirannya yang merasa lelah, membawa seutuhnya ke dalam bunga tidur yang melambai kepada dirinya, seolah menyambutnya.

 • • •

 Jarum jam melangkah tertatih, menghapus jarak dengan gelapnya tengah malam. Menyisakan bunyi berdetik yang berbisik mengisi sunyi. Angin malam perlahan menelisik masuk melalui celah terbuka jendela yang seakan menyambut dirinya. Sorot remang cahaya bulan, serta lampu yang masih berpendar dengan setia menemani seorang gadis yang masih terjaga.

Pukul 10 malam, Lili kembali berkutat dengan laptopnya setelah menyelesaikan seluruh tugas online miliknya. Bandul cokelat miliknya menatap layar laptop dengan sorot tajam. Jemari kedua tangannya bergerak dengan lihainya di antara deretan keyboard, memberikan musik pengiring tambahan. Dengan menyalurkan pula perasaan pada tulisannya, besar harapan bagi para pembacanya nanti akan turut merasakannya. Senyum tak henti-hentinya terukir menghias rupa ayu miliknya.

Semakin larut dalam tulisan, pikirannya semakin dipenuhi kabut imajinasi yang menari-nari. Memaksa dirinya mengabaikan perasaan lelah yang terasa. Berusaha keras ia ciptakan sebuah karya sastra yang akan dipersembahkan untuk para generasi muda bangsa. Begitulah alasan Lili menulis. Ia hendak turut hadir dalam usaha memperbaiki kualitas literasi bangsa ini.

Usai menekan tombol “Save Draft”, Lili menyandarkan tubuhnya ke punggung bangku yang beralaskan bantal berukuran kecil. Manik matanya bergulir mengikuti deretan huruf yang menyusun rangkaian paragraf yang murni hasil pemikiran dan kerja kerasnya dengan puas dan bangga. Lili meraih secangkir cokelat panas yang mulai mendingin di sebelahnya. Diseruputnya likuid kental di dalamnya yang membuat tubuhnya terasa lebih rileks.

“Bab ini berhasil kuselesaikan. Aku… hampir berhasil,” gumamnya lirih. Bibir mungilnya membentuk kurva yang kian melebar, mengeluarkan tawa kecil.

 • • •

 “Nghh, selamat pagi, Lili!” Lili mengawali esok harinya dengan menyapa diri sendiri. Berusaha meruntuhkan segunung rasa malas yang ditopang di kedua pundaknya, ia merentangkan kedua tangannya sembari menguap lebar. Lili berbalik menghadap ke arah cermin yang tergantung di dinding kamarnya yang bercat biru laut, membuatnya menatap refleksi dirinya sendiri. Surai hitamnya tampak mencuat berantakan khas orang bangun tidur.

Telinganya lantas menangkap bunyi getar dari ponsel miliknya yang tergeletak di meja, membuat fokusnya teralihkan. Lili meraih kacamata untuk ditenggerkan pada batang hidungnya, sebelum akhirnya meraih ponsel tersebut.

“Ah, notifikasi tugas baru,” dengusnya. Lili melempar ponsel miliknya ke arah ranjang, lalu beranjak ke kamar mandi.

Tak berselang lama, ia kembali dengan wajah yang lebih segar. Lili berlari kecil menuju ruang makan, mencomot sebuah roti selai kacang yang disediakan, memakannya dengan tenang.

“Lili, selamat pagi!" sapa wanita paruh baya di seberangnya. Wanita itu adalah ibunya.

 • • •

 Seusai menghabiskan sarapan dan melakukan pembicaraan klise sejenak dengan ibu dan ayahnya, Lili lantas kembali ke kamarnya, mengunci pintu, memastikan tidak ada yang akan mengganggu kegiatan belajar daringnya.

Baru hendak membuka buku, gadis muda itu dikejutkan oleh suara ponselnya yang kembali bergetar. Lili menekan pop up pesan masuk tersebut. Keningnya mengernyit membaca pesan yang terpampang di depan matanya.

 

<Rara> “P, ada yang punya e-book Kak Asma ga di sini?”

<Aurel> “Aku ada, yang mau japri yaa!”

Hah? Menyebarkan e-book? Bodoh sekali, pikir Lili. Jarinya menari di layar ponselnya, mengetikkan sesuatu dengan cepat.

 

<Lili> “Maaf, teman-teman, tapi.. menyebarluaskan e-book? Bukankah termasuk pembajakan?”

<Rara> “Yah, mau gimana lagi? Guru kita kasih tugas literasi hari ini.”

<Aurel> “2-in sih. Lagian, Li, gaada salahnya kan berbagi ilmu?”

<Rara> “Yups, benerr! Emang apa masalahnya?”

 

Alis Lili menukik, geram dengan tingkah kedua kawannya. Memang, selama pandemi ini, guru di sekolah Lili menggalakkan program literasi secara besar-besaran. Bagi mereka dengan ekonomi sedang ke bawah yang tidak memiliki buku, dipersilakan untuk meminjam dari perpustakaan sekolah.

Tetapi, beberapa dari mereka --bahkan yang berada di tingkat ekonomi atas-- lebih memilih untuk membaca e-book. Tidak ada yang salah dengan hal itu jika mereka membeli e-book tersebut, atau setidaknya membacanya dari aplikasi bebas bayaran yang resmi. Namun kenyataannya, teman-teman Lili justru membaca e-book yang berasal dari broadcast teman lain. Bahkan, dengan bangga mereka turut serta menyebarkannya. Padahal jelas-jelas yang mereka lakukan itu salah, sebuah pembajakan.

Bagi mereka, mungkin itu hal yang biasa. Setiap kali diberi tahu, dengan keras kepalanya mereka pasti menjawab, “Lagian kan, gaada bedanya”, juga argumen lainnya. Tetapi, bagi Lili yang notabenenya seorang penulis, meski masih amatir, itu suatu hal yang amat penting.

Tak sadar saja mereka ini secara perlahan-lahan mulai mengambil, bahkan mungkin menghilangkan pendapatan para penulis buku juga semangat mereka untuk menulis. Lebih buruknya lagi, mereka tidak mengerti bahwasanya kini, pembajakan online seperti itu juga telah dikecam sebagai tindak pidana.

Lili bergidik, tersenyum miris. Benar-benar babil, pikirnya.

 

<Lili> “Haha, tapi sungguh, kenapa kalian tidak mengunduh aplikasi e-book resmi saja?”

<Aurel> “Ga ah, Li. Lebih simpel begini. Buat apa download aplikasi segala, ribet, menuhin penyimpanan juga.”

<Rara> “Yak, setuju sama Aurel!”

Oh ayolaah, kalian ini siswa, berpendidikan. Tidakkah kalian merasa malu memperoleh ilmu dari buku hasil bajakan, hasil curian?

 

<Lili> “Teman-teman, para penulis itu melakukan kerja keras untuk menghasilkan satu karya saja. Setidaknya hargai mereka dengan tidak merampas hak mereka!”

<Rara> “Hak apa sih, Li? Kita sebagai pembaca juga berperan penting buat mereka, kan?”

Buka matamu, anak muda. Kau gadis terpelajar, bukan?

 

<Lili> “Begini, dengan membaca buku bajakan yang notabenenya tidak resmi, para penulis tidak mendapat upah dan hak mereka. Selain itu, program literasi ini bisa berjalan karena adanya mereka yang menyediakan bahan bacaan untuk kita. Sudah seharusnya kita bijak dalam memilihnya, Ra, Rel!”

<Aurel> “Ya udah sih, ga usah marah-marah juga. Lagi pula, aku dapet itu dari murid kelas sebelah, kok. Aku juga kan niatnya cuma bantu distribusi ilmu.”

<Rara> “Mungkin Lili lagi PMS, Rel. Jadi sensitif banget gitu. Udah lah ga usah dibahas lagi! Kalaupun itu bener pembajakan, kita bukan satu-satunya pelaku.”

<Lili> “Mulai dari kita dulu, Ra. Setidaknya jika kita berhenti membaca buku bajakan, itu akan mengurangi kerugian para penulis, ah dan juga, ilmunya lebih berkah! Tapi.. yah, ini terserah kalian sih :)”

Distribusi ilmu? Membagikan ilmu? Ah, aku tau, mungkin maksudmu meracuni otakmu dengan ilmu curian, batin Lili sarkastik.

 Setelah menekan tombol kirim, Lili mematikan notifikasi grup tersebut, lantas menyambar headphone miliknya untuk dihubungkan dengan ponselnya. Dipilihnya satu lagu kesukaan untuk kemudian dinikmatinya sembari mengerjakan tugas.

 

• • •

 

Malam harinya, seperti biasa, Lili bersiap melanjutkan novelnya yang kini hanya tersisa dua bab sebelum mencapai epilog. Dengan riang, ia tumpahkan segala emosi dan imajinasinya, mengurainya ke dalam potongan kata yang membentuk deret panjang kalimat, menyusunnya menjadi satu-dua paragraf. Bibirnya sedikit terbuka, menggumamkan bait lagu yang berputar-putar di ingatannya.

Lili melirik kearah ponselnya, berpikir mengambil jeda istirahat sejenak. Lili memeriksa aplikasi berkirim pesan miliknya, hendak melihat apa yang teman-temannya bicarakan beberapa waktu lalu. Jarinya mengetuk ruang percakapan.

Sedetik kemudian, senyumannya luntur. Lili melemparkan ponselnya ke ranjang. Cepat-cepat dirinya berbalik, menatap layar laptopnya. Jemari lentik Lili sudah bersiap di atas keyboard, tapi aneh, mereka tidak mau bergerak, terasa kaku. Lili memejamkan matanya, mencoba mencari keberadaan imajinasi yang biasanya menari-nari. Kelopak mata Lili terpejam lebih rapat, menelusuri jengkal demi jengkal pikirannya, mencari jejak mereka.

Nihil. Mereka seakan menghilang begitu saja. Yang Lili temukan justru ingatan bagaimana teman-temannya dengan bangga terus menyebarluaskan e-book bajakan ilegal. Termasuk buku keduanya. Buku yang ia tulis dengan kesungguhan dan kerja keras.

Detik itu, Lili merasa tidak dihargai. Sangat.

Lili membuka kembali matanya, memperlihatkan manik cokelat yang tampak meredup. Semangatnya memudar. Dadanya terasa sesak. Deru nafas Lili semakin cepat, seolah-olah kandungan oksigen di sekitarnya menipis. Mata Lili memanas, membuatnya menggigit bibir merah mudanya kuat-kuat. Tidak ia izinkan awan mendung di pelupuk matanya menurunkan hujan. Sudut bibirnya yang menurun dipaksanya membentuk kurva lengkung ke atas. Tetapi sayangnya, pelangi tak akan terbentuk tanpa hujan.

“Ayo berpikir, Lili, berpikir!” pekiknya. “Ah, benar! A-aku butuh kertas!” Lili menyambar selembar kertas kosong dan sebuah pensil.

Tangannya mulai berhasil menulis beberapa kata—atau mungkin tidak, Lili kembali mencoretnya. Menulis lagi, mencoretnya lagi. Kini, kertas kosong tersebut dipenuhi rentetan kata yang tercoret. Genggaman Lili pada pensil semakin mengerat hingga memperlihatkan buku-bukunya yang memutih.

“Kau bisa! Ayolah!” Lili menggertakkan giginya. Tangannya kembali menyambar kertas, lagi, lagi dan lagi. Berkali-kali Lili mencoba, semua lembaran putih itu berakhir sama, seperti lembar pertama.

Ia kantukkan kepalanya dengan keras ke meja kayu miliknya. Tangannya bergerak menjambak surai hitamnya yang indah dengan begitu kasar. Tak lama, Lili mendongakkan kepalanya, dengan kasar menyibakkan jendela besar di hadapannya. Ia biarkan semilir angin dan cahaya bulan yang biasa menemaninya bertamu kembali.

“Kenapa kalian tidak pernah mengerti?!” serunya tertahan.

Lili meraih tumpukan kertas di sebelahnya, merobeknya menjadi potongan-potongan abstrak yang kini beterbangan dibawa pergi sang angin malam.

“Makan tuh literasi! Aaaakh sialaan!!”

Seandainya bisa, Lili ingin menemui satu per satu kawannya. Memperlihatkan kepada mereka wajah menyedihkan miliknya. Berteriak pada mereka, menanyakan keberadaan nurani dan akal mereka.

Mereka berpendidikan, mereka mampu, mereka mengerti. Lili tahu itu. Mereka hanya menutup mata dan telinga mereka dari realita. Menembakkan peluru-peluru argumen yang sama setiap kali ditegur dan diberi masukan.

Literasi digital memang sebuah program yang ditujukan untuk mencerdaskan, tapi kalau bukunya hasil bajakan, bukan lagi cerdas namanya. Sebelum mencerdaskan bangsa dengan literasi, cobalah cerdas dalam memilih literaturnya. Tidak lucu jadinya apabila nanti para penulis berakhir atau mungkin mengakhiri karir hanya karena pembaca yang keras kepala.

Lili menutup kembali jendela kamarnya. Usai mematikan laptopnya, gadis itu melompat ke ranjangnya, menenggelamkan wajah di bawah bantal kering yang tak lama lagi akan teraliri gerimis dari awan di mata indahnya yang kini telah bertambah mendung.

Malam memeluknya, dengan perlahan menuntunnya menuju bunga tidur yang merentangkan tangan di hadapannya, bersiap menyambut jiwa letihnya.

Yah, bagiamanapun, mereka semua sudah terlampau babil.