Halaman

Kamis, 07 Mei 2020

Cerpen: Kenangan pada Sebuah Pertandingan


Kenangan pada Sebuah Pertandingan

Faishal Ahmad Al Azhar   

Lapangan yang tak adil, kata Aswin. Bek kanan yang tangguh, tapi mudah terpancing emosi. Ia tidak membenarkan, tak juga menyangkal. Pemain lawan juga sering mengeluh jika bertanding di lapangan sepak bola kampungnya itu. Kesebelasan yang mendapat giliran menempati sisi lapangan yang landai mesti berjuang lebih keras. Bola bakal bergulir lebih liar dan lawan menyerbu seperti air bah. Setiap kali bola datang, Aswadi kiper timnya, terpontang-panting mengamankan gawang. Sebaliknya, alangkah sulitnya menggiring si kulit bundar ke gawang sebelah.
Usianya kala itu baru belasan tahun. Mereka patungan menyablon kaus. Biru cerah seperti kostum Les Bleus, tim nasional Prancis. Ia kebagian nomor punggung tujuh. Gelandang kiri. Sebetulnya ia lebih suka bermain sebagai penyerang dan selalu yakin ia pemain haus gol. Serangan-serangannya tajam, menusuk langsung ke jantung pertahanan lawan. Namun, Bang Amran berkeras ia harus main di sayap.
“Tendanganmu kurang akurat, tapi umpan-umpanmu bagus!” kata kakak iparnya yang menjadi pelatih kesebelasan kampungnya itu. Tak ada gunanya berbantah. Toh, ia melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Bola mengalir deras dari kakinya. Umpan demi umpan dengan gemilang disorongkannya. Ferdiansyah dan Fuad selalu mampu memanfaatkan umpan-umpannya dengan cukup baik.
Berkali-kali mereka menjuarai turnamen 17 Agustusan dan berhasil merebut Camat Cup dua tahun berturut-turut. Bahkan sekali menjadi runner-up Piala Bupati. Namun, justru di kejuaraan memperebutkan trofi Kepala Desa mereka sendiri, di kandang sendiri, kesebelasannya mesti tersingkir di babak penyisihan! Ya, tidak mungkin ia melupakan pertandingan itu kendati telah lewat bertahun-tahun.
Berdesakan, nyaris tergencet, di antara ribuan calon penonton yang berteriak-teriak marah, bayangan masa silam itu merambat dalam kepalanya, seperti tayangan ulang di layar televisi. Digenggamnya erat-erat tangan Riko, anaknya yang baru 10 tahun, agar tidak ikut terseret arus massa yang kian kehilangan kesabaran. Tak ada lagi antrean. Terjadi dorong-mendorong, saling sikut.
“Holid turuun! Holid turuuunn…!” suara kemarahan itu membahana di langit siang yang terik. Ia mencoba membawa Riko menepi. Namun itu pun bukan hal mudah. Oh, betapa wajah-wajah lelah yang tampak beringas di sekelilingnya saat ini serta-merta mengenangkannya pada orang-orang kampungnya sendiri, yang tiba-tiba saja jadi pemberang tatkala berdiri di pinggir lapangan sebagai suporter sore itu.
Sampai sekarang, ia selalu berpikir hari itu terlampau awal mereka datang ke lapangan. Para penonton juga bertandang terlalu dini. Pertandingan akan dilangsungkan pukul empat sore, tapi jam dua warga kampungnya yang menjadi suporter telah tumpah ruah di pinggir lapangan. Begitu bisingnya. Para pemuda berteriak-teriak dan berseloroh ribut. Kaum ibu dan anak-anak tidak kalah gaduhnya. Tak perlu tiket, tapi bandar judi berkeliaran, kupon-kupon putih diam-diam diedarkan dari tangan ke tangan. Tukang bakso, penjual kacang goreng, tukang es, gerobak nasi goreng, dan penjaja mainan anak-anak ikut meramaikan suasana di luar lapangan.
“Kami sudah kehabisan dana!” teriak Pak Burdin, ketua panitia penyelenggara, seperti kebakaran jenggot ketika warga memprotes minimnya fasilitas di lapangan. Mikrofon soak dengan suara cempleng, papan skor yang seadanya, dan lapangan jelas tak dibenahi dengan semestinya. Warga hanya bisa bersungut-sungut.
Betapa suasana menjelang pertandingan yang panas itu seolah masih dapat ia rasakan. Telinga mereka sampai terasa pekak oleh suara teriakan. Maklum, kendati merupakan laga pertama kesebelasannya dalam turnamen, lawan yang akan dihadapi hari itu adalah kampung tetangga yang menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun.
Toh, tak ada alasan menyalahkan lapangan jelek atas kekalahan. Ia tahu itu, semua teman-temannya tahu. Apalagi bermain di kandang sendiri, di hadapan orang-orang kampung yang tiba-tiba menganggap sepak bola sebagai bagian dari pertaruhan harga diri mereka.
Di lapangan buruk itu, tim yang lebih dulu menempati gawang berumput lebat tentu tak menyia-nyiakan kesempatan mencetak angka sebanyak mungkin. Dan biasanya memang hampir selalu keluar sebagai pemenang. Maka ketika wasit melemparkan koin Rp100, ia pun berdoa dengan sungguh-sungguh agar Pudin tak salah memilih gambar gunungan wayang. Doa itu terkabul. Mereka bersorak kegirangan saat melihat sisi koin yang terbuka di telapak tangan wasit, seakan-akan sebuah gol baru saja tercipta. Wajar saja jika suara cemooh dari suporter lawan pun terdengar begitu Aswadi berdiri di muka gawang pilihan. Suasana menegang karena para pemuda kampung mereka membalas cemooh itu dengan garang. Tampak nyata rasa cemas di wajah orang-orang yang menjadi petugas keamanan. Apalagi lapangan itu hanya dipagari tiga utas tali tambang.
Tapi kedudukan tetap saja berubah jadi 2-3. Jeritan pendukung lawan bergemuruh keras. Ia terhenyak. Panasnya pertandingan itu membuat tubuh mereka seperti meleleh, tak juga mampu disejukkan oleh gerimis yang mulai menetes satu-satu lantas membesar. Hingga memasuki menit ke 74, satu gol kembali menjebol gawang Aswadi. Kali ini dari titik penalti! Membuat kedudukan jadi imbang 3-3. Kebahagiaan suporter lawan meledak. Menyusul saling ejek dan lempar-lemparan yang tak terhindarkan. Botol minuman, potongan kayu, dan batu mulai melayang.
Lalu, bencana itu datang! Ia berdiri di sana, ia ingat, di pojok kiri gawangnya sendiri. Semua pemain turun membantu pertahanan. Bahkan Ferdi tak pernah lagi naik melewati garis tengah lapangan sejak gol penalti lawan tercipta. Ooh, bagaimana mungkin bisa ia lupakan serangan yang datang begitu bertubi-tubi itu, membuat mereka nyaris kocar-kacir.
Ya, seolah-olah baru kemarin peristiwa itu berlangsung. Jelas sekali dalam ingatannya: bola itu datang dari depan, menggelinding lurus ke tengah gawang. Aswadi tersungkur di luar kotak penalti setelah berjumpalitan menahan dua tembakan beruntun Salim. Aswin berusaha menyapu bola namun luput. Hanya dirinya, satu-satunya orang yang bisa menghentikan laju bola itu, menyelamatkan gawang mereka dari kebobolan.
Tetapi entah sudah takdir, atau semata-mata kesialan. Ah, malapetaka itu seperti diputar ulang dalam benaknya: Kakinya terpeleset oleh licinnya mulut gawang. Ia kehilangan keseimbangan tepat di saat ujung sepatu kanannya menyentuh bola! Demikianlah. Berlawanan dengan kehendaknya menendang bola jauh-jauh ke luar lapangan, si kulit bundar justru terpelanting keras ke sudut kanan gawang. Tanpa ampun langsung merobek jaring!
Keributan pecah di luar lapangan. Sorak-sorai suporter lawan seketika teredam oleh teriakan-teriakan marah. Sebagian penonton bubar berhamburan. Polisi dan petugas keamanan sama sekali tak berdaya ketika dengan beringas para pemuda kampungnya merangsek ke arah suporter lawan. Sebagian menyerbu masuk ke dalam lapangan. Belum juga sempat ia beranjak bangkit, ia merasa bagian belakang kepalanya dihantam benda keras.
Bagaimana mungkin ia melupakan pertandingan itu? Kepalanya yang mendapatkan pukulan batang kayu harus menerima lima jahitan dan diperban lebih dari seminggu. Tak pernah diketahui siapa pemukulnya, bahkan malam harinya rumahnya sempat dilempari orang tak dikenal. Itulah terakhir kalinya ia bermain bola. Karena dua minggu berselang, hanya tiga hari setelah ia menerima ijazah kelulusan SMA-nya, ayahnya memanggilnya selepas magrib.
“Paman Hanif menanyakanmu,” kata ayahnya ketika itu, sambil menatapnya cemas. “Ada salam dari bibimu,” ibunya menambahkan. Perempuan itu memperhatikan perban di kepalanya dengan sedih. Ia ingat, bagaimana ia hanya bisa tertunduk di sisi meja ruang tengah.
“Kau mau kuliah?” tanya sang ayah kemudian. Ia cuma mengangguk kecil. Sejak itu, kakinya tak pernah lagi menyentuh bola. Tak pernah sekalipun ia datang ke lapangan atau stadion.
Kalau bukan karena Riko merengek terus-menerus sehingga membuat istrinya sewot, takkan pernah ia menginjakkan kaki di stadion ini, pikirnya getir. Meskipun ia tahu, anak semata wayangnya sangatlah menyukai sepak bola. Suasana di depan stadion besar itu semakin tegang, semakin panas. Langit siang seakan ikut memerah.

Cerpen: Jangan Salahkan Kesalahan!


Jangan Salahkan Kesalahan!
Adam Jaya Saputra   

Matahari keluar perlahan-lahan dari peraduanya. Dia hendak menyaksikan kembali peradaban manusia. Langit gelap akan segera terusir, berganti dengan langit yang terang menyala. Biru lembut mulai nampak dicakrawala, membangunkan seisi alam agar kembali pada aktifitasnya. Hawa sejuk membuaikan embun-embun pagi yang menggelantung di pohon-pohon halaman MAN 1 Sulaiman. Para pelajar di akademi pendidikan itu menyebut sekolah mereka sebagai istana.
Namun istana itu akan segera mereka tinggalkan di waktu dekat ini. Di ruang-ruang kelas MAN 1 Sulaiman para siswa-siswi disibukkan dengan setumpukan kertas berukiran tinta hitam. Setiap waktu, pikiran dan tenaga mereka diperas habis dengan setumpukan kertas, yang selalu ada dan setia menemani para siswa-siswi MAN 1 Sulaiman setiap saat. Di atas meja pojok paling belakang, terjadi pemandangan yang tidak mengenakan. Di sana ada siswa yang cukup bandel tidur seenaknya saja dengan bantalan tumpukan buku, entah mimpi apa yang ia alami sehingga dapat tidur pulas.
“PRAAAAKK!” suara sepatu yang mendarat.
“HEY , SIAPA YANG MELEMPAR SEPATU INI?! KURANG AJAR!” teriak Joyo sambil memandangi sekelilingnya dengan mata melotot dan jidat sedikit memerah berukiran sepatu.
Putro memberi bahasa isyrat kepada Joyo, kalau yang lempar sepatu itu adalah pak guru.
“Oh maaf pak, saya kira salah seorang teman yang melempar sepatu ini” dengan nada rendah ia minta maaf sama pak guru. Dan menoleh ke arah Putro “kenapa kamu tidak membangunkan aku sedari tadi Tro?!” suaranya seperti ular mendesis.
“lha aku suka lihat kamu kalau di marahi guru” timpalnya sedikit meledek.
“Daassarr...!!!” Joyo menimpali ledekan Putro dengan menggretakan giginya.
Pak guru melangkah menuju ruang kelas paling belakang, tepat mengarah kebangkunya Joyo.
“ANANDA JOYO... Ambilkan  sepatu bapak!” perintah pak guru, dengan sedikit nada yang berirama.
“iya pak” sahut Joyo, sambil mengambilkanya.
“Terimakasih ananda Joyo...” ucapanya pak guru dengan penuh rasa cinta.
“iya pak, sama-sama” balasnya Joyo kepada pak guru dengan penuh rasa hormat.
***
Ruangan di pagi hari yang penuh dengan sinar mentari sedari tadi menunggu pelajaran untuk dimulai. Dengan suara merdunya siswa-siswi MAN 1 Sulaiman berdo’a  secara mandiri untuk memulai pelajaran, agar ilmu yang didapatkan di ridhoi oleh sang ilahi. Tidak menunggu lama setelah tadarus bersama, Adem mengawali pelajaran dengan sebuah pertanyaan.
“Pak Abdullah, mohon izin bertanya!” suara lantang nun penuh dengan keberanian terdengar indah menggema di dalam kelas 12 Agama.
“Oh, iya. Silakan ananda Adem.” Balasnya pak Abdullah dengan penuh rasa kasih dan cinta.
 “ Apakah benar pak, Muhammad Al-Fatih menaklukkan konstantinopel di usianya yang masih muda sekali? Dan berapa usianya Muhammad Al-Fatih ketika menaklukkan konstantinopel pak?.” Kebetulan sekali pertanyaanya mengenai sejarah islam dan tepat di kelas Agama memang ilmu-ilmu keagamaan yang diutamakan.
Sebelum pak Abdullah menjawab, temanya Adem ikut nimbrung pertanyaan. “Dan apakah benar pak, Muhammad Al-Fatih memiliki jiwa visioner yang kesatria?” pertanyaan pun tidak bisa disimpan lama-lama dibenak Ghozi dan telah terucap dengan santun nun penuh kejeniusan.
Pak Abdullah pun tersenyum bahagia melihat anak-anak didiknya semakin hari semakin jenius dan santun penuh dengan keimanan islam, meskipun masih ada beberapa anak yang jauh dari kata itu. Tetapi pak Abdullah selalu mendo’akan yang terbaik untuk anak-anak didiknya agar kelak suatu hari nanti dapat menjadi generasi islami, tak terlepas do’anya untuk Joyo siswa bandel kelas 12 Agama.
“Anak-anakku apakah ada yang mau menjawab diantara kalian semua, sebelum bapak nanti yang menjawab?” sapaan khas pak Abdullah ketika suasana mulai tidak kondusif. Sapaan ini selalu berhasil untuk menarik perhatian dan membuat ruang kelas kembali kondusif.
“TIDAAAK...!!!” serempak sekelas menjawab dengan cepat. Memang para siswa-siswi MAN 1 Sulaiman selalu kompak untuk menjawab jawaban yang tdak terlalu banyak memerlukan waktu dan pikiran, itupun hampir di semua kelas. Tidak hanya di kelas 12 Agama, bahkan kelas 12 Agama adalah kelas yang paling jarang memberi jawaban seperti itu kepada guru diantara kelas – kelas yang lain.
***
Bel sekolah telah berbunyi dengan merdu, itu menandakan satu jam pelajaran sudah berlalu. Setelah mendengar bel pertama berbunyi pak Abdullah segera memberikan jawaban dan penjelasan kepada Adem dan Ghozi yang sedari tadi sudah tidak sabar menunggu jawaban dan penjelasanya. Dengan jawaban dan penjelasan yang disampaikan kepada murid – muridnya. Ternyata penjelasan tersebut membuat murid-muridnya penasaran.
“Pak guru, kenapa pemimpin yang sangat hebat di zamanya itu pernah turun tahta?”. Tidak menunggu waktu lama, si Jenius langsung meminta izin kepada pak Abdullah untuk menjawab pertanyaan dari Joyo. Dengan ketajaman berfikir dan kejeniusan Ghozi memberikan penjelasan. Joyo pun manggut-manggut dengan jawaban dan penjelasan yang disampaikanya, seakan-akan ia paham.
“Hah...?!! Muhammad Al-Fatih diusia 12 tahun sudah pernah diangkat menjadi sultan kekhilafahan Turki Utsmani.” Ucapnya Joyo terheran – heran sepontan,  mendengar penjelasan yang di sampaikan oleh Ghozi dengan penuh kejeniusan dan keimanan. “Lalu dengan usianya yang masih sangat muda ia turun tahta dan digantikan oleh ayahandanya, tersebab faktor usia juga mempengaruhi mentalnya untuk mengurus Negara.” Lanjutnya.
 Tidak lama kemudian Putro yang sedari tadi menyimak pembahasan dalam kelasnya, ia pun ikut menanggapi penjelasan-penjelasan yang telah di sampaikan. Tetapi sedikit memberikan sindiran kepada Joyo, entah apakah faktor kurang konsentrasi dalam pembelajaran yang sedari tadi mendengarkan dengan kepala di taruh di atas meja.
“Dari sekian panjang lebar penjelasan yang saya dengarkan , menurut saya Joyo dan Muhammad Al – Fatih itu sangat berbanding terbalik perilakunya. Seperti air dan minyak, hahahaha.”  Nadanya yang khas dengan ledekkan membuat suasana sedikit memanas.
“HEY, MAKSUDMU APA...!” Joyo mengacungkan jari telunjuknya ke arah putro dan dengan nada tinggi penuh emosi. “Apakah yang kamu maksud adalah kesalahanku tadi yang membuat pak guru melemparku sepatu?’ lanjutnya dengan nada sedikit merendah dan penyesalan atas kesalahan yang ia lakukan.
Dengan cepat dan sigap Putro langsung menjawab “IYA!... kamu memang selalu melakukan kesalahan Yo!” hardik putro.
“Putro! Joyo! Janganlah kalian saling menyalahkan. Dan janganlah kalian menyalahkan kesalahan, sebenarnya kita bisa mengambil pelajaran dari kesalahan kalau kita mau berfikir!” Argumen yang penuh dengan kebijaksanaan menghambur begitu saja dari mulut Adem.
 Tak terasa bel sekolah berbunyi lagi untuk yang kedua kali. “Ilmu ialah kemuliaan yang tiada ada kehinaan didalamnya. Diraih hanya dengan  merendah tanpa merasa tinggi. Sebab ia musuh kesombongan diri sebagaimana banjir tak hendak pada dataran tinggi. Wahai pencari ilmu , selamilah kehati – hatian suci jauhi nyenyak dan tinggalkan kenyang. Langgenggkan belajarmu dan jangan beranjak, karena kian dikaji ilmu kian tegak menanjak. Jikapun luput darimu dunia dan segala isinya. Maka pejamkan matamu, cukuplah ilmu sebagai sebaik – baiknya karunia yang Allah berikan padamu. Layani ilmu dengan pengabdian pencari faedah sejati. Langgengkan pembelajaranya dengan laku terpuji. Aduhai betapa rugi seorang pelajar bestari, jika ilmunya hanya untuk mencari pemberian para hamba dan abdi. Ilmu ialah mahkota yang jubahnya adalah manfaat, apa guna mahkota bila raja berjalan telanjang?  Apa guna ijazah bila pelajar bestari berhambur tak tui manfaat. Kita semua adalah pelajar bestari. Dituntuti memburu ilmu dari mahdi ilal lahdi. Pelajar bestari ialah pengabdi ilahi tak untuk dibeli janji duniawi.” Sebuah puisi dari pak Abdullah ketika pembelajaran selesai.  

Cerpen: Rumah Tanpa Atap


Rumah Tanpa Atap

  Sheravina Nadanti   

Hari ini pagi pagi sekali, ibu membawa kakak pertamaku Caca dan adik terakhirku bernama Putri pergi. Kata ibu, mereka berdua akan diantar ke tempat ayah yang sedang bekerja jauh di kota sana.
Aku dan kak Feby hanya bisa berdiri di ambang pintu. Mengamati punggung ibu, kak Caca dan putri, yang tampak mengecil sering jauhnya jarak mereka. Lalu tak terlihat lagi saat mulai menampakan kaki di jaln setapak menurun.
Hening menyergap suasanan sepeninggal tiga wanita itu. Aku dan kak Feby sama – sama bergeming , entah apa yang ada dipikirkan masing – masing. Yang jelas pikiranku saat ini terpaut pada dua saudara perempuanku yang telah pergi.
Aku lantas menoleh sembari berdehem “ Hmm ?” “Ke sungai yuk, macing ikan. Mumpung ibu nggak ada,” tawar kak Feby, tawaran yang bagus kak Feby! Langsung kuanggukan kepala tanda setuju. Sesampainya disungai aku dan kak Feby langsung memancing ikan dengan umpan cacing tanah. Tak hanya kami berdua, ada juga beberapa anak lain yang sedang memancing. Keberuntungan memihak pada kami berdua. Tiga ekor ikan berukuran sedang berhasil aku dan kak Feby dapatkan, meskipun cukup lama menunggu.
Umpan sudah habis , matahari pun semakin terik dan sudah tampak di atas kepala. Kami kemasi semua alat memancing ikan tadi. Bergegas menjauh dari tepi sungai. “ Bayu!Feby!” panggil beberapa orang teman, yang juga sudah mengakhiri kegiatan memancing mereka. Aku dan kak Feby menoleh walaupun hanya diam.
“Mandi sungai, yuk!”. Ya ampun, aku jadi tergoda setelah mereka semua masuk kedalam air sungai yang jernih. Mau, tetapi ibu sering marah tiap kali kami pulang dari sungai dalam keadaan basah kuyub.
“ Kak Feby, boleh ya?” ijinku pada kak Feby.
“ Jangan ah, nanti dipukul ibu!” kak Feby melarang.
“ Tapi kan ibu sedang pergi, pastinya pulangnya lama” jawabku. Kak Feby diam cukup lama, nampaknya mempertimbangkan. “Ayolah” terdengar jawaban yang ku inginkan dari kak Feby. Melangkah lagi kami ke tepi sungai , meletakan alat mancing disana. Lalu setelah melepas kaos yang kami kenakan, kami langsung terjun ke dalam air.
Byurr! Huwaaa! Segar sekali rasanya mandi disungai ketika siang bolong begini.
Kami berenang cukup lama. Hingga lupa waktu dan tak terasa hari akan menjelang petang setelah adzan asar berkumandang. Buru – buru aku dan kak Feby menepi ke tepi sungai. Dengan gerakan cepat memakai kembali kaos yang tadi ditinggalkan dan mengambil alat memancing , setelah berlari  meninggalkan tepi sungai, menuju rumah. Langkah lebarku untuk mencapai rumah sontak berhenti. Menyusul kak Feby dengan langkah kecil hingga kami berdua berdiri sejajar diradius beberapa meter dari pintu rumah, yang sudah terbuka lebar. Pintu terbuka lebar? Setahuku , kak Feby sudah menutupnya bahkan menguncinya sebelum kami berangkat ke sungai untuk memancing. Rasa takut perlahan menguasai hatiku. Terbayang wajah marah ibu, dan tatapan garangnya dengan sebilah rotan digenggamanya. “ Kak Feby” aku memanggil pelan seraya menarik – narik ujung kaos yang dikenakanya. Kak Feby tak menjawab, bahkan tak menoleh padaku. Kedua alis tebalnya justru bertautan, tanda cemas. Tahu betul kami, akan mendapat pecut dari ibu ketika masuk rumah dalam keadaan pakaian basah. Kami mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu dipukuli ibu.
“ Nggak apa apa. Ayo masuk, nanti masuk angin” kak Feby menggengam pergelangan tanganku. Setengah menarik agar aku hendak bergerak, pasalnya kaki ini mendadak kaku. Kak Feby berjalan lebih dulu, semetara aku menyusul selangkah dibelakangnya. Kak Feby mengucapkan salam saat memasuki rumah namun, tak ada jawaban dari dalam. Malah isak tangis lirih yang terdengar saling bersahut – sahutan.
Suara itu aku mengenalnya. Kak Caca dan adikku Putri. “ Sudah ibu bilang, jangan ikut ibu pulang! Tinggal saja dengan ayahmu!” suara ibu lantang meneriaki dua gadis yang tengah meringkuk sembari menangis dihadapannya. Kak Caca dapat pukulan pertama, mendarat dilengan kanannya. Cukup kuat ibu memukul, hingga keluarlah rintihan kesakitan dari bibir kak Caca. Pukulan kedua diarahkan ke bahu Putri.
Tangisku pecah melihat dua saudaraku dalam keadaan tersiksa. “Ibu jangan!” kak Feby berlari tiba – tiba , menghampiri Putri dan kak Caca kemudian memeluk dari depan, hingga pukulan ibu yang kesekian kalinya mendarat keras di punggung kak Feby. “ Ibu.... su-sudah” aku meminta penuh tangis. Hatiku serasa diiris melihat Putri dan kak Caca yang menangis sesengukan. Bahu keduannya sampai berguncang pelan.
“ Oh, kau juga mau dipukul? Ayo sini! Kalian semua anak – anak yang merepotkan, sama seeprti ayah kalian!” ibu menarik lenganku cukup kuat, hingga tubuh mungil ini terseret dan bergabung dengan ke tiga saudaraku. Kak Caca, kak Feby, dan Putri.
Bergiliran ibu memukulkan ranting kayu yang keras itu ke kulit kami. Kadang dibahu, lengan, betis, dan punggung. Ibu tak terkendali, semakin keras suara rintihan kami, semakin keras pula ibu memukul. Rasanya sakit sekali dan rasa perih terasa di setiap bagian tubuh. Bagaimana mungkin kami bisa berhenti menangis.
Malam hampir larut. Kami berempat masih terjaga, berbaring diatas balai bambu beralaskan tikar, yang menjadi tempat  kami tidur. Kak Caca bercerita tetntang kejadian siang hari tadi, penyebab ia dan Putri tak jadi tinggal bersama ayah di kota.
Ternyata ayah marah besar ketika ibu datang membawa kak Caca dan Putri ke tempat ia bekerja, dan meminta agar ayah gantian merawat mereka. Kata kak Caca, ayah tinggal disebuah perumahan yang disediakan khusus untuk para pekerja.
“Tempatnya bagus, nyaman, dan bersih. Beda jauhlah dengan rumah kita,” tutur kak Caca sambil menepuk nepuk punggung Putri pelan, hingga ia tertidur.
Ayah bertengkar hebat dengan ibu. Lalu ibu menyuruh kak Caca dan Putri untuk jangan ikut ibu pulang dan tinggal bersama ayah. Namun, ayah malah memaksa kak Caca dan Putri agar ikut ibu pulang. Awalnya kak Caca dan Putri tidak mau. Namun , ayah malah mendorong dan mengusir.
Dua hari berlalu, ayah pulang ke rumah. Namun, malah bertengkar hebat dengan ibu. Kami ketakutan mendengar kekacauan diluar kamar hanya bisa saling memeluk menguatakan satu sama lain.
“Aku menyesal sudah menikah denganmu mas!” Terakhir itu yang ku dengar terucap dari bibir ibukku. Lalu keributan tadi terhenti dan susanan menjadi hening. Saat aku mengintip ke luar dari tirai pintu kamar, terlihat ibu berjalan bergegas keluar rumah dengan tas besar ditangan. Ibu pergi, tetapi tak pamit dan tak tahu akan pergi ke mana dan kapan akan kembali?.
Sore hari, ayah berpamitan kepada kami. Ia kembali ke kota, memberikan sejumlah uang kepada kak Caca dan berpesan agar kak Caca merawat kami dengan baik. Kak Caca anak yang baik, ia menuruti pesan ayah. Meskipun malam harinya ia menagis bersama Putri ketika hendak tidur.
Berhari – hari, berminggu – minggu sampai berbulan – bulan. Ibu tak kunjung pulang, padahal kami senantiasa menunggu. Rindu, itulah yang kami rasakan. Sementara ayah tak ada bedanya dengan ibu. Ia hanya menitipkan uang makan sehari – hari untuk kami kepada paman.
Kami merasa tak aman tinggal dirumah sendiri. Merasa tak terlindungi dari badai. Seperti, rumah tanpa atap. Ada dinding dan tiang namun, tak ada atap yang bisa melindungi penghuni di dalamnya dari hujan dan panas. Atap pelindung itu adalah ayah dan ibu. Jika mereka ada, entah kenapa kami anak – anaknya akan merasa aman.
Empat bulan kemudian, ibu masih belum pulang. Namun, kabar beritannya disampaikan paman kepada kami. Ke empat anak yang ditinggalkannya. Ibu menikah lagi, kata paman. Dengan seorang pria, yang entah bagaimana rupanya, dan entah bagimana bisa menggantikan ayah.
Sejak kabar ibu menikah lagi tersiar mungkin hingga ke penjuru desa. Ayah tak lagi mengirim uang untuk biaya makan kami sehari – hari , atau sekedar datang menjenguk kami, anak – ankanya.
END